Yogya, KU
Hasil penelitian lapangan Fakultas Pertanian UGM menunjukan bahwa hasil panen padi hibrida meningkat sekitar 14 persen dibandingkan hasil panen padi IR 64. Sedangkan kebutuhan pupuk untuk padi hibrida membutuhkan jumlah pupuk yang lebih banyak. Selain itu, kerusakan tanaman padi hibrida dari serangan hama jauh lebih tinggi.
Demikian hasil kesimpulan sementara yang disampaikan Andi Trisyono kepada wartawan, Sabtu siang (21/7) di Desa Boto Kenceng, kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Beberapa peneliti yang terlibat dalam penelitian lapangan ini diantaranya, Prof Dr Susamto Somowiyarjo, M.Sc, Ir Irfan D Prijambada, Sri Peni W, Rudi Hari Murti, Achmadi Priyatmo dan Ngadino dari kelompok Tani Ngudimulyo.
“Produksi panen padi hibrida menghasilkan 6,5-7,0 ton per hektar. Sedangakan panen padi IR64 menghasilkan 5,9 ton per hektar. Jadi ada kenaikan sebesar 14 persen berdasarkan ubinan padi,†ujar Andi Trisyono yang menjadi salah satu peneliti.
Sedangkan dalam penggunaan pupuk, kata Andi, padi hibrida membutuhkan pupuk UREA sekitar 25 persen lebih banyak dari kebutuhan pupuk padi IR 64, Pupuk Phospor (P) dua kali lebih banyak, dan Pupuk KCL pun menjadi 2,5 kali lebih banyak.
“Bibit padi hibrida mempunyai batang yang kebih besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan IR 64. Hama yang dominan pada fese vegetatif maupun generatif adalah penggerak batang padi, dan secara kenampakan tingkat kerusakan tanaman oleh hama ini pada varietas hibrida lebih tinggi dibandingjan dengan IR 64,†ujar Andi.
Menurut Andi, hama lain yang ditemukan diantaranya wereng batang padi cokelat, walang sangit, belalang dan tikus. Namun demikian, populasi kelompok hama tersebut rendah. “Penyakit penting lainnya yang muncul adalah busuk pelepah (Rhizoctonia Sspp) dan penyakit bercak daun cercospora,†jelasnya.
Achmadi Priayatmo yang juga meneliti tentang penyakit tanaman mengungkapkan bahwa intensitas penyakit busuk pelepah pada hibrida umumnya lebih tinggi daripada IR 64. Sedangkan Intensitas penyakit bercak daun cercospora pada padi hibrida lebih rendah daripada IR 64.
“Penyakit-penyakit lain yang muncul dengan intensitas yang sangat rendah adalah Bacterial Red Stripe (BRS) dan Bacterial Leaf Blight (BLB). Sedangkan vigor tanaman padi hibrida lebih baik dibandingkan dengan IR 64,†katanya.
Rudi Hari Murti, selaku sekretaris jurusan budidaya pertanian UGM menjelaskan bahwa penelitian padi hibrida dilakukan sejak 17 April 2007 yang mengikuti pola penanaman sesuai penyedia bibitnya.
“Kami melakukan penelitian ini bersama petani. Padi hibrida bisa memberikan kenaikan produksi 1 ton per hektar tanpa penggunaan semprotan pestisida. Kami melakukannya memang agak berbeda, karena yang ingin kami lihat adalah tingkat rentan dan tidaknya padi hibrida terhadap serangan hama, sebab ini yang menjadi kekhawatiran kita selama ini,†ujarnya.
Ngadino, selaku ketua kelompok tani Ngudimulyo mengaku dirinya sangat mendukung atas hasil penelitian ini, mengingat hasilnya panen padi hibrida cukup mengembirakan.
“Namun saya sangat tidak setuju, harga bibitnya padi hibrida cukup mahal, rata-rata paling murah 40-50 ribu per kilogram, dan sampai sekarang benihnya pun belum ada di pasaran, dibandingkan untuk harga benih padi IR 64 saja hanya Rp 4500,†ungkap Bapak empat anak ini.
Menurut Nagdino, saat ini masyarakat setempat belum berani mencoba menanam padi hibrida, meski pemerintah kabupaten Bantul akan menganjurkan menanam benih hibrida tahun ini. “Sekarang panen padi milik saya belum ada yang hibrida, tapi kalo masa yang akan datang saya akan pake ini (padi hibrida), tapi ya itu tadi, harga benihnya masih mahal,†keluh Nagdino.
Nagino sedikit protes, menurutnya Pemerintah masih suka mencoba-coba benih-benih baru yang diimpor dari luar yang dijual kepada petani, ia khawatir benih lokal yang sudah dibudidayakan oleh masyarakat selama ini akan hilang, “Yang digembor-gembor itu senangnya kayak gitu lho, saya mohon bagaimana caranya mbok benih yang diadakan itu werengnya tidak senang,†tutur Nagino. (Humas UGM)