Agama dan etnis bukanlah penyebab munculnya kekerasan dan konflik yang terjadi di beberapa daerah di tanah air selama dua dekade terakhir. Sebaliknya, keduanya bisa menjadi alat penyatu dan menjadi resolusi konflik apabila seluruh elemen membuka ruang dialog dan komunikasi di publik serta meningkatkan peran aparat keamanan yang secara sigap menjalankan peran dan tugasnya agar setiap konflik tidak sampai menjalar menjadi kekerasan dan konflik terbuka.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia karya Dr. Samsu Rizal Panggabean, Jumat (7/9) di ruang seminar Timur Fisipol UGM. Dalam diskusi ini menghadirkan dosen peneliti resolusi konflik UGM sekaligus dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM, Diah Kusumaningrum,SIP., MA., pendeta Jacky Manuputti selaku sahabat karib Samsu Rizal, lalu Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Mohammad Mohtar Masoed.
Diah Kusumaningrum mengatakan Samsu Rizal Panggabean semasa menjadi dosen Hubungan Internasional di Fisipol UGM banyak melakukan penelitian terkait berbagai konflik etnis dan agama yang ada di Indonesia sejak era 1990-an. Bukunya yang kini diluncurkan sejak setahun ia meninggal tersebut merupakan kumpulan penelitian disertasinya saat menjadi doktor. “Buku ini memuat hasil disertasi Rizal saat mengambil jenjang doktor,” kata Diah yang menjadi anggota tim editor di buku tersebut.
Di buku tersebut, kata Diah, Rizal mengungkapkan bahwa pemilahan etnis bukan menjadi penyebab terjadinya kekerasan. Namun, sebaliknya kekerasanlah yang menyebabkan pemilahan etnis menjadi mencolok dan konflik jadi mengemuka ke permukaan. “Pemilahan etnis bukan sebab tapi justru kekerasan menjadi penyebab munculnya pemilahan etnis sehingga yang nampak di luar adalah konflik Islam dan Kristen atau konflik pribumi dan Tionghoa,”paparnya.
Apabila peneliti pada umumnya selalu melihat faktor konflik dari satu sudut pandang seperti soal kebijakan negara, desentralisasi atau militerisme. Namun, Rizal selalu mengungkap penyebab tersulutnya konflik dan meluasnya konflik dari perspektif yang berbeda. Untuk menguatkan argumen ini, kata Diah, sepanjang 1990 hingga 2003, Rizal menemukan bahwa kekerasan etnis dan komunal terjadi di 15 kabupaten di Indonesia atau 6,5 % dari seluruh jumlah populasi masyarakat Indonesia. “Apabila disebutkan penyebabnya dari tingkat nasional seharusnya konflik etnis tidak hanya pada 6,5% populasi,”kata Diah mengutip pernyataan Rizal dalam penelitiannya di buku tersebut.
Yang menarik dalam penelitian tersebut, kata Diah, Rizal membuat penelitian dengan metode perbandingan berpasangan. Ia melakukan penelitian konflik etnis dan komunal di beberapa kota besar, seperti Ambon, Manado, Poso, Palu, Jogja, Solo dan Surabaya. ”Antara dua kota diteliti secara berpasangan di tempat terjadinya kekerasan etnis,”katanya.
Rizal misalnya meneliti konflik di kota Ambon dan Manado pada tahun 1998 hingga 1999. Begitupun dengan dua kota lainnya seperti Jogja Dan Solo sebagai kota pembanding, saat terjadi konflik di awal masa sebelum reformasi1998. Hipotesis penelitian ini berawal pandangan bahwa modal sosial yang kuat di masyarakat akan mampu mencegah konflik dan kekerasan.
Dari hasil penelitian di lapangan ditemukan bahwa di Manado para tokoh agama mampu meredam umatnya dalam konflik muslim dan Kristen bahkan walikota melibatkan sopir angkot untuk meluruskan isu konflik di masyarakat. “Para sopir angkot dibolehkan menyampaikan pesan walikota tersebut, namun hal itu tidak terjadi di Ambon,”paparnya.
Selanjutnya di Jogja dan Solo saat awal 1998 hingga Mei 1998 diketahui ada perlakuan berbeda yang dilakukan aparat keamanan seperti polisi dan tentara dalam meredam isu konflik antara pribumi dan Tionghoa, “ Di Solo, tentara dan polisi tidak melakukan tugas pengamanan sebagaimana mestinya, meski warga Tionghoa yang sudah meminta bantuan. “Di Jogja, aparat keamanan menjalankan kemananan sesuai dengan fungsinya karena aparat menganggap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa tidak sampai membuat keadaan menjadi genting, bahkan warga Tionghoa bekerja sama meminta aparat mendirikan pos penjagaan di depan rumah mereka,” katanya.
Pendeta Jacky Manuputti mengingat jelas pertemuannya dengan Rizal pada Maret 1999 saat awal muncul konflik Ambon. “Kami bertemu di rumah saya, baru kenal, ia banyak diam, tiba-tiba dia tanya dimana bisa cari ikan bakar yang enak, ya, saya sempat heran suasana konflik ia masih pikir makan enak, mungkin itu cara dia untuk membuka hubungan baik dengan orang yang dikenalnya,”kenang pendeta yang aktif dalam kegiatan perdamaian ini.
Ia menuturkan Rizal banyak membantunya dalam mengelola konflik. Bahkan, Rizal menurutnya tidak segan membagi ilmunya serta membagikan koleksi buku-buku yang ia baca dan pernah ia tulis kepadanya.”Saya banyak belajar ke Rizal soal kajian dan penelitian perdamaian yang pernah mereka lakukan,”katanya.
Prof Mohtar Masoed mengatakan Rizal merupakan kolega sesama dosen UGM sekaligus mahasiswa bimbingannya saat menempuh program pendidikan doktor. Menurutnya, Rizal merupakan peneliti yang tekun dan memiliki pandangan serta cara berbeda dalam melihat sebuah konflik. ”Ia memiliki kebiasaan berpikir merdeka dengan pendekatan di luar kelaziman,”pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)