Otonomi daerah pasca Orde Baru sekarang ini dikatakan Ichlasul Amal, berbentuk desentralisasi demokratik dalam arti bahwa pemerintah lokal bertanggungjawab pada warganya melalui pemilu yang teratur ataupun mekanisme yang lain seperti terselenggaranya pers bebas dan berkembangnya civil society yang matang. Dengan demikian, otonomi daerah saat ini hanya mungkin berkembang dalam suasana tata pemerintahan nasional yang demokratik (national democratic governance). “Dalam kaitan ini sejumlah pakar administrasi publik dan politik mengingatkan bahwa otonomi yang berhasil adalah yang dapat meningkatkan efisiensi dan respon sektor publik serta dapat mengakomodasi potensi meledaknya kekuatan politik daerah. Sebaliknya otonomi yang gagal adalah yang mengancam stabilitas politik dan ekonomi serta mengacaukan pelaksanaan pelayanan umumâ€, ujar Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA saat menyampaikan orasi ilmiah peringatan Dies Natalis ke-56 Universitas Gadjah Mada hari Senin (19/12/2005) di GSP UGM.
Persyaratan yang berat untuk bisa merealisasikan otonomi daerah yang berhasil, menurut Pak Amal mengakibatkan munculnya pandangan yang kuat bahwa UU Otonomi Daerah hasil reformasi akan memperbesar kecenderungan gerakan disintegrasi. Karenanya birokrat pemerintahan pusat yang didukung partai-partai di DPR menambahkan beberapa aturan tentang pemilihan langsung kepala daerah, makanya UU no. 22 dan 25 diamandemen menjadi UU no. 32 dan UU no. 33 yang semangatnya lebih sentralistik dan meningkatkan kontrol pusat atas daerah dengan menghidupkan kembali otoritas gubernur atas bupati dan walikota serta memperbesar dana dekonsentrasi.
Apa yang bisa menjadi pelajaran dari otonomi daerah semenjak reformasi terutama atas pelaksanaan dua paket UU tentang otonomi daerah tersebut. Adakah otonomi daerah telah mencapai tujuannya yaitu mampu meningkatkan pelayanan pada masyarakat dan menambah kesejahteraan masyarakat. Menurut Pak Amal, ini sulit dijawab, kalaupun jawabannya ya, maka hal itu terjadi terjadi secara sporadik dan sangat individual tergantung pada daerah masing-masing. Apalagi menurut hasil studi tentang desentralisasi disejumlah negara menunjukkan bahwa pengaruh desentralisasi/otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil. Lantas apa yang perlu diperhitungkan dan diantisipasi dalam menyusun aturan dan UU Otonomi Daerah di masa depan agar tidak mengarah ke disintegrasi bangsa. (Perlu diketahui bahwa disintegrasi bangsa bisa terjadi di negara yang berbentuk federal maupun yang berbentuk kesatuan). Satu hal yang perlu dirancang dengan seksama untuk menjaga kohesi (integrasi) daerah adalah skema ekualisasi yang dapat mengurangi dan bahkan menghapuskan disparitas antar daerah. “Skema ekualisasi ini pada zaman Orde Baru pernah dilaksanakan yaitu melalui program Inpres dan kurang berhasil karena sifat sentralistiknya yang sangat dominan. Kebijakan membuat skema seperti ini harus diartikan secara luas dan dikaitkan dengan kebijakan politik yang dasar agar kebijakan tersebut dapat menjadi bagian dari mekanisme resolusi konflik yang dipilih oleh pemerintahâ€, ungkap dosen Fisipol UGM saat menyampaikan pidato berjudul. “Integrasi Nasional dan Demokrasiâ€. (Humas UGM)