
Fakultas Pertanian (Faperta) UGM menyelenggarakan Seminar Hasil Penelitian VIII pada Sabtu (22/9) di Auditorium Prof. Harjono Danoesastro UGM. Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan publikasi di bidang pertanian, mewujudkan riset pertanian yang berkesinambungan, mendorong peneliti untuk memperbanyak riset yang aplikatif, serta merealisasikan cetak biru riset untuk kebijakan pemerintah.
Seminar ini terbagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama merupakan seminar yang dipresentasikan keynote speaker. Lalu sesi kedua, presentasi makalah hasil pertanian di kelas-kelas kecil.
Prof. Ir. Benito Heru Purwanto, M.Agr.Sc., Ketua Departemen Tanah Faperta UGM yang hadir sebagai keynote speaker, menyatakan saat ini dunia telah memasuki masa internet of things. Hal itu ditandai dengan penggunaan teknologi berbasis jaringan yang mampu memotong jarak antar manusia, tidak terkecuali bidang pertanian.
Internet of things dalam bidang pertanian, sebut Heru, biasa disebut dengan Agriculture 4.0. Tahapan ini merupakan lanjutan dari tahap-tahap sebelumnya dalam bidang pertanian, sama seperti revolusi industri.
“Pada Agriculture 1.0, kerja padat karya baru digencarkan untuk meningkatkan hasil pertanian. Agriculture 2.0, ditandai dengan green revolution, yakni pemanfaatan teknologi untuk pertanian . Agriculture 3.0, mulai dikembangkan precision farming yang memanfaatkan global positioning system (gps) untuk meningkatkan akurasi dari mesin pertanian. Lalu, munculah Agriculture 4.0 yang melanjutkan precision farming dengan penggunaan big data yang memanfaatkan internet,” ujarnya.
Heru menyatakan bahwa perkembangan ini diperlukan melihat kondisi kehidupan manusia di dunia. “Populasi manusia global semakin meningkat, beriringan dengan peningkatan kebutuhan hasil pertanian. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kuantitas serta kualitas pertanian, diperlukan modernisasi,” ungkapnya.
Akan tetapi, menurut Heru, hal itu mendapat beberapa hambatan untuk serta merta dijalankan. Ia menyebutkan hambatan tersebut berupa semakin berkurangnya lahan produktif, perubahan iklim, serta permasalahan sosial manusia.
Hal itu dibenarkan oleh keynote speaker lainnya, yakni Prof. Dr. Dedi Nursyamsi, M.Agr., Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Ia menyebutkan permasalahan berkurangnya lahan disebabkan meningkatnya arus konversi lahan. “Setiap tahun, setidaknya sekitar 96.500 hektare lahan dikonversi,” ungkapnya.
Sementara permasalahan perubahan iklim, menurut Dedi, sektor pertanianlah yang paling dirugikan. Kesimpulan tersebut didapatnya ketika melihat sumber daya untuk pertanian yang semakin terbatas, tetapi sektor ini masih juga disalahkan atas meningkatnya emisi Gas Rumah kaca (GRK) penyebab perubahan iklim.
Faktanya, Dedi menyebutkan, sumbangan emisi GRK oleh sektor pertanian masih di bawah sektor energi dan kehutanan. Padahal di sisi lain, lanjutnya, sektor pertanianlah yang paling krusial karena menyangkut kehidupan manusia.
“Sebelum NKRI harga mati, pangan harga mati. Sebelum pangan, pertanian harga mati. Pertanian memble, NKRI juga memble. Sebaliknya, pertanian kuat, NKRi juga kuat !” tegasnya.
Oleh karena itu, Dedi menyebutkan beberapa strategi untuk menyelamatkan sektor pertanian. Hal itu yakni ekstensifikasi, intensifikasi, menahan arus konversi lahan, dan adaptasi. Ia memaparkan bahwa ketiga strategi awal yang disebutkan merupakan proses, sementara strategi yang disebut terakhir merupakan tujuan.
“Dengan memanfaatkan teknologi sekarang, strategi tersebut dapat dijalankan. Ini merupakan salah proses adaptasi sektor pertanian terhadap perkembangan zaman,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)