Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa aset yang termasuk dalam Barang Milik Negara (BMN) harus bisa dikelola dengan baik. Tanpa pengelolaan yang baik, aset yang dimiliki tidak dapat memberikan nilai tambah, melainkan hanya menjadi monumen yang tidak bermanfaat.
“Di negara maju, tidak ada uang, barang, dan modal yang menganggur, semuanya dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan nilai. Kita harus bisa seperti itu, jangan sampai ada satu barang pun yang dibiarkan begitu saja,” ujarnya saat memberikan kuliah umum di FEB UGM, Selasa (25/9).
Dalam kuliah ini, ia memberikan pemaparan terkait strategi optimalisasi manajemen barang milik negara dalam pengelolaan kebijakan fiskal. Sri Mulyani menerangkan Kementerian Keuangan menerima mandat dari Undang-undang untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan menjadi barang harus diadministrasikan dan didayagunakan secara maksimal.
Meski demikian, tidak jarang ia menemukan infrastruktur yang telah dibangun oleh instansi tertentu dengan uang negara akhirnya justru tidak terpakai secara maksimal karena ada ketidaksinkronan antara instansi yang membangun dengan pemerintah daerah yang diberikan wewenang untuk mengelolanya.
“Itu sering terjadi di beberapa daerah. Makanya proses perencanaan menjadi penting,” terangnya.
Dari total kekayaan negara, sekitar 38% di antaranya berupa BMN, atau senilai 2.034,80 triliun rupiah. Jumlah ini merupakan nilai di tahun 2017, tidak termasuk hasil revaluasi tahun 2017. Dari segi komposisinya, Sri Mulyani memaparkan, dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan yang signifikan pada jumlah BMN yang berupa peralatan mesin dan infrastruktur.
Pengelolaan BMN, ujarnya, menjadi hal yang penting karena mencerminkan bagaimana sebuah negara mampu merencanakan serta mengeksekusi pembangunan dengan baik. Semakin maju suatu negara, pasti semakin baik dalam mengelola aset negara.
“Kualitas pengelolaan yang baik mencerminkan peradaban bangsa yang menghargai apa yang telah dia bangun sendiri, tiap rupiah digunakan untuk mewariskan sesuatu kepada generasi yang akan datang,” jelasnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengutarakan bahwa pengelolaan aset negara saat ini sudah jauh berbeda dari sebelumnya karena sejak 12 tahun yang lalu Indonesia telah memiliki neraca yang mencatat semua aset yang dimiliki negara. Sebelumnya, Indonesia ia sebut harus kehilangan banyak aset karena belum memiliki neraca.
“Di dalam 12 tahun terakhir ada revolusi besar dalam pengelolaan BMN. Ada perubahan yang sangat fundamental ketika republik ini pertama kali membuat neraca, ini menjadi demarkasi antara Indonesia yang dahulu dengan Indonesia yang sekarang,” paparnya.
Di samping berbagai terobosan yang telah dilakukan, ia mengakui bahwa masih ada tantangan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah untuk memaksimalkan pemanfaatan BMN.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan paradigma baru di dalam pengelolaan kekayaan atau aset negara yang bukan lagi soal menyediakan layanan publik dengan biaya serendah-rendahnya, tetapi lebih berfokus pada efektivitas penggunaan aset, cost-saving, peningkatan penerimaan negara, nilai tambah investasi pemerintah, serta peningkatan tata kelola.
Ia pun mengajak kalangan akademisi UGM untuk berbagi dalam upaya ini dengan membangun karakter yang baik pada generasi mendatang di dalam pengelolaan negara.
“Perjalanan sudah cukup spektakuler, tapi masih banyak yang harus dilakukan. Mari kita benahi aset negara untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)