
“Ada asumsi bahwa konfigurasi kekuasaan presiden memengaruhi kebijakan yang dikeluarkannya, termasuk tentang tindak pidana korupsi,” sebut Oce Madril, mahasiswa S3 Fakultas Hukum (FH) UGM, dalam ujian terbuka untuk memperoleh derajat doktoral pada Sabtu (29/9) lalu di Ruang III-1.1, FH UGM.
Hal itu menjadi latar belakang topik yang diangkat Oce dalam disertasinya. Dengan judul ‘Politik Hukum Presiden dalam Pemberantasan Korupsi Di Pemerintahan’, ia lebih lanjut menerangkan bahwa fungsi lembaga antikorupsi di Indonesia, yakni KPK, belakangan ini mulai terhambat.
“Saya melihat KPK kesulitan untuk berkoordinasi dengan lembaga pemerintahan, walaupun hal itu sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dalam disertasinya ini, Oce menyimpulkan agar posisi KPK lebih diperkuat lagi. Hal itu dapat dicapai dengan perluasan kewenangan KPK agar lebih komprehensif jangkauannya. Ia menyebutkan bahwa penguatan ini dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, dengan melakukan perubahan UU KPK dengan menambahkan pasal-pasal penguatan wewenangnya dalam melakukan pencegahan korupsi di pemerintahan. Kedua, menjadikan perubahan UU No. 28 tahun 1999 menjadi payung hukum bagi kebijakan antikorupsi di pemerintahan. UU ini dapat menjadi landasan KPK untuk melaksanakan tugas monitoring sehingga jangkauan kewenangan KPK menjadi lebih luas meliputi tata kelola pemerintahan pusat dan daerah.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia, lanjut Oce, adalah dengan penguatan otoritas koordinator program antikorupsi di pemerintahan. Penguatan ini juga dapat dilakukan dengan dua cara, yakni presiden menyerahkan urusan ini pada salah satu kementerian atau pembentukan lembaga baru di bawah kuasa presiden langsung.
“Salah satu masalah utama dalam kebijakan antikorupsi adalah tidak adanya komitmen politik yang kuat dari presiden. Dukungan politik presiden adalah prasyarat penting untuk memastikan berjalannya agenda kebijakan antikorupsi,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)