Gempa 7,4 Skala Richter yang mengguncang Palu, Sigi dan Donggala Provinsi Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 telah menelan ribuan korban jiwa. Gempa dan tsunami telah meyebabkan kerusakan di berbagai infrastruktur. Berbagai bantuan terus mengalir mulai dari logistik untuk korban yang berada di pengungsian hingga pemetaan bangunan yang rusak.
Fakultas Geografi UGM turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan tanggap darurat di Palu dengan mengerahkan Tim Task Force – Pendukung Data Spasial (TF-PDS) didukung oleh PUSPICS dan Departemen Sains Informasi Geografi (Dep. SaIG) yang melakukan penyediaan data spasial untuk membantu distribusi bantuan yang lebih efektif dan efisien.
Berdasarkan pemetaan tersebut diketahui sebanyak 182 titik pengungsian yang diinput diunggah melalui platform Google Mymaps. “Data ini akan digunakan untuk mengoordinasikan bantuan bersama perangkat desa di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah,” kata Prof Dr. Hartono, salah satu anggota tim peneliti sekaligus ketua Ikatan Geografi Indonesia, dalam keterangannya kepada wartawan Jumat (5/10).
Selain itu, mereka juga membuat Damage Assessment Map yang bermanfaat untuk melihat area terdampak sebagai acuan untuk fase recovery atau rekonstruksi pasca bencana. Peta ini dapat membantu pemerintah maupun LSM untuk memprioritaskan distribusi bantuan ke daerah terdampak. Data yang digunakan adalah citra satelit beresolusi tinggi. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan menginterpretasikan citra secara visual dengan menggunakan citra perekaman sebelum gempa dan setelah gempa. “Tim telah berhasil menyelesaikan satu Damage Assessment Map yang meliputi area terdampak di pesisir Pantai Talise, Palu,” katanya.
Ia menyebutkan jumlah total titik bangunan yang terpetakan adalah sebanyak 1.965 titik yang berada pada Zona 50S. Titik ini meliputi bangunan yang hancur sebanyak 1.085 titik dan bangunan rusak sebanyak 878 titik. “Angka kerusakan ini meliputi luasan daratan kajian seluas 10,5 km2,” katanya.
Sementara pada area dengan luas 7,5 km2, terdapat 2.001 total bangunan yang terpetakan. Terdapat 213 bangunan yang rusak dan 1.788 bangunan yang hancur. Hartono menguraikan bangunan yang hancur adalah bangunan yang rata dengan tanah ketika dilihat pada citra pasca bencana, sedangkan bangunan yang rusak adalah bangunan yang pada citra pra-bencana terlihat utuh, kemudian memiliki area tutupan atap yang kurang utuh ketika dilihat pada citra pasca bencana. “Besar harapan bahwa peta persebaran titik pengungsian ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh semua stakeholder, khususnya pemerintah dan relawan yang ingin mendistribusikan bantuan kepada masyarakat di Palu,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)