
Pungutan negara dalam kegiatan impor dapat berupa bea masuk, cukai, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang mewah (PPnBM), dan pajak penghasilan (PPh). Semua kegiatan yang berhubungan dengan pemasukan barang melalui pabean harus diajukan pemberitahuan pabean, sebab barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean sebagai barang impor setelah diserahkan pemberitahuan dan dilunasi bea masuk serta pajak impor.
Pada pasal 31 UU Kepabeanan telah diatur bahwa Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) yang menjadi kuasa importir dalam kegiatan pengimporan harus bertanggung jawab atas utang bea masuk apabila importir yang seharusnya melunasi bea masuk ternyata tidak ditemukan. Selanjutnya, pejabat bea dan cukai akan mengalihkan penagihan utang bea masuk dari importir ke PPJK.
Pada kenyatannya tidak sedikit importir seharusnya bertindak sebagai wajib bea masuk, namun ketika importir tidak ditemukan maka PPJK menjadi penanggung bea masuk. “Mengingat penetapan penagihan bagi importir dibatasi 2 tahun sejak pengimporan maka pengalihan kepada PPJK sebaiknya dibatasi dalam waktu 3 tahun sejak pengimporan. Dalam jangka panjang diperlukan melalui amandemen UU Pabean, pasal 31 perlu ditinjau untuk dihapus,” kata mahasiswa program doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, Budi Nugroho, SE., M.Hum., saat memaparkan hasil penelitiannya dalam ujian terbuka promosi doktor di FH UGM, Jumat (12/10).
Dalam penelitian disertasinya yang berjudul Pengalihan Tanggung Jawab Atas Utang Bea Masuk dari Importir kepada Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, Budi Nugroho menuturkan pungutan negara dalam rangka impor berupa bea masuk harus dipenuhi entah siapa yang membayarnya. Namun, dalam UU Kepabeanan yang bertanggung jawab adalah PPJK apabila importir tidak ditemukan. Menurutnya, ketentuan pasal 31 tersebut tidak sesuai dengan asas mengenai pertanggungjawaban dalam perjanjian pemberi kuasa. Sebab, PPJK yang bekerja sebagai penerima kuasa importir menanggung risiko yang melebihi kedudukannya sebagai penerima kuasa sebagaimana diatur dalam hukum perdata.
Tidak hanya sampai di situ, kata Budi, pasal 31 tersebut juga menempatkan PPJK yang sebenarnya berkedudukan inferior dibandingkan dengan importir harus menanggung kesalahan yang tidak dilakukannya. “Hal ini menempatkan PPJK berada pada kedudukan yang sangat lemah dibanding importir,” katanya.
Menurut Budi Nugroho, untuk menjamin kepastian dalam menetapkan pengalihan atas utang beas masuk dari importir ke PPJK, pelaksanaan penagihan kepada PPJK perlu dibuat tahapan waktu penyampaian tagihan kepada PPJK. “Sementara untuk solusi jangka panjang diperlukan amandemen pasal 31 UU Kepabeanan ini untuk dihapus,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)