Politik Beras nasional memang tidak pernah jelas bentuk dan arahnya, dan akhir-akhir ini justru cenderung memposisikan nasib kaum tani dan berkelanjuan sektor pangan semakin tidak menentu. Petani selalu saja dikebiri oleh negara untuk senantiasa menjadi kurban sistem pembangunan nasional yang semakin hari semakin dlolim. Politisasi petani sekarang ini sudah sampai menggerogoti kedaulatan kaum tani. Hal tersebut dikemukakan Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc dalam release yang disampaikan ke Humas UGM pada hari Kamis, 5 Rabu 2006.
Menurutnya, dalam perberasan nasional, politisasi ini sudah sangat akut dan telah menyentuh batas kemanusiaan dan kesabaran publik. Politisasi ini harus secepatnya dihentikan oleh KIB kalau memang KIB tetap konsisten dengan pemihakannya kepada kaum tani dan konsisten pula dengan RPPK yang dikumandangkan. “Dua hal ini, RPPK dan pemihakan kaum tani tidak akan pernah terwujud kalau politisasi itu tidak segera diberantasâ€, kata pak Maksum.
Lebih jauh pak Maksum mengungkapkan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan tentu saja melakukan redefinisi kembali terhadap format politik pangan nasional kita secara cermat. Selama tidak ada kecermatan tujuan pembangunan sector pangan dan perberasan, maka selama itu pula politik beras nasional akan semakin terkontaminasi oleh politisasi yang dilakukan oleh para pialang tata-niaga yang sementara ini memiliki banyak kaki-tangan di KIB. “Berdasarkan redefinisi itulah, pemberantasan tikus-tikus free rider bisa segera dilakukan dengan seksama bagi tegak dan lurusnya kembali perjalanan politik pangan yang pro-petaniâ€, ujar pak Maksum.
“Sebagai seorang pengamat, tentu saya prihatin sekaligus khawatir kalau ternyata kesabaran petani ini ada batasnya. Karena ketika batas kesabaran ini terlampui, maka tidak hanya boikot usaha tani padi yang mereka lakukan dan bisa berakibat matinya bangsa ini. Tetapi aktualisasi sosial-politik sakit hati kaum tani setelah batas kesabarannya tersentuh, sungguh tidak diperkirakanâ€, tegas pak Maksum. (Humas UGM)