Berdasarkan Refleksi Budaya 2005 yang dilakukan oleh Jurusan Antropologi FIB UGM dipandang perlu adanya usaha mengedepankan budaya yang dalam wacana maupun praktik kenegaraan dan kemasyarakatan selama ini cenderung diposisikan sebagai sekedar latar belakang. Kurang terartikulasinya budaya selama ini terjadi karena banyak pihak cenderung memahami budaya secara sempit sebagai benda peninggalan (heritage) dan mentalitas yang hampir selalu dikaitkan dengan kelampauan. Sesungguhnya budaya itu memiliki sifat kekinian (contemporary) dan aktif sebagai proses penataan sosial, ekonomi, politik dan teknologi. Hal tersebut diungkapkan Ketua Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM Drs. Pande Made Kutanegara, MA dalam release (4/01/06).
Menurutnya, persoalan bangsa dewasa ini menjadi semakin kompleks sehingga dibutuhkan pendekatan pemecahan masalah yang semakin komprehensif pula. Persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik dan teknologi yang selama ini ditanggapi secara sektoral dan terkotak-kotak, pada dasarnya dilandasi oleh dan tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya yang melekat pada manusia
“Ketidakselarasan antara perkembangan ekonomi, politik dan teknologi dengan perkembangan masyarakat dan budayanya akan melahirkan konflik dan kontradiksi dalam berbaga bentuk. Perkembangan ekonomi, politik dan teknologi tidak serta merta melahirkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi orang banyak. Perkembangan itu harus berlangsung dalam keselarasan terhadap perkembangan masyarakat dan budayaâ€, ungkap pak Pande.
Lebih lanjut, dosen Antropologi UGM ini mengemukakan, sejalan dengan itu jurusan Antropologi memandang perlu mengedepankan beberapa persoalan budaya dan langkah-langkah berikut: (i) perlunya penggalian dan pengembangan nilai-ninilai keteladanan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik sebagai sumber bagi pembentukan karakter pemimpin yang mengakar dalam masyarakatnya. Budaya, dalam hal ini memberikan pilihan-pilihan yang kontekstual dalam menjawab tantangan masyarakat global. (ii) Institusi keluarga harus dikembangkan sebagai model pembentukan nilai dan moral dalam berbagai format. Dengan jalan itu akan dapat tumbuh manusia Indonesia yang berhati-nurani serta memiliki etika dan bertanggung jawab sosial (bukan manusia yang terlalu berorientasi pada pasar dan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti tampak dalam kasus produk makanan berformalin akhir-akhir ini). (iii) Sejalan dengan proses desentralisasi, maka budaya daerah seyogyanya tidak dipahami secara sempit sebagai budaya putera daerah: melainkan system pengetahuan, nilai dan tradisi yang berlaku bagi berbagai komponen pembentuk masyarakat yang hidup berdampingan dalam sebuah kesatuan hidup setempat. Budaya daerah semacam ini selayaknya menjadi acuan bagi perumusan visi dan kebijakan di daerah. (iv) Dalam rangka pengembangan kebudayaan yang selaras dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik dan teknologi, dibutuhkan sistem pendidikan dan pendampingan budaya. Budaya mestinya mengalami perenungan, aktualisasi, pemberdayaan dan pengarusutamaan untuk dapat memberikan sumbangan yang besar bagi penciptaan tatanan nilai, tatanan sosial, politik dan tatanan ekonomi yang lebih baik, serta teknologi yang lebih manusiawi.
“Pendekatan budaya pada tahun 2006 seyogyanya menjadi arah utama berbagai upaya solusi persoalan-persoalan yang sedang dialami bangsa ini; khususnya menyangkut kesenjangan kelas, konflik sosial yang meluas, kekerasan kolektif, dan materialisme tanpa hati-nurani, karena pendekatan budaya pada hakekatnya adalah pendekatan kemanusiaanâ€, terang pak Pande. (Humas UGM)