
Spektrum frekuensi masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan hingga kini. Pakar Kebijakan dan Regulasi Spektrum Frekuensi, Dr.Ir. Asmiati Rasyid, menegaskan perlunya perumusan Undang-Undang Spektrum Frekuensi dan pembentukan Badan Spektrum Frekuensi Nasional guna mengatasi carut-marut dalam penataan frekuensi di Indonesia.
“Perlu ada Perpu Spektrum Frekuensi yang di dalamya juga mengatur pembentukan Badan Pembentukan Spektrum Frekuensi Nasional sebagai institusi pengelola spektrum frekuensi lintas sektoral yang dipimpin orang berkompeten dan jujur, di bawah Presiden langsung,” paparnya dalam Seminar Nasional “Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Spektrum Frekuensi Radio Sebagai Guidline Pembentukan UU Spektrum Frekuensi Nasional, di University Club UGM, Rabu (17/10).
Asmiati menyebutkan langkah tersebut perlu diupayakan mengingat pentingnya spektrum frekuensi sebagai sumber daya alam yang tak ternilai harganya dan dengan perolehan Pendapatan Negara Bukan dari Pajak (PNBP) yang tinggi. Selama tahun 2006-2016 PNBP spektrum frekuensi dari sektor telekomunikasi mencapai Rp100 triliun. Kendati begitu, jumlah ini masih jauh dibanding India dengan PNBP mencapai Rp900 triliun selama 2010-2016.
“Jika dikelola secara profesional, spektrum frekuensi berpotensi menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan untuk kesejahteraan negara,” kata pendiri CITRUS ini.
Peran strategis dan nilai ekonomi spektrum frekuensi, kata dia, semakin meningkat di era ekonomi digital. Bahkan, spketrum frekuensi telah menjadi rebutan industri penyiaran, telekomunikasi seluler,internet, serta satelit.
Sayangnya, hingga kini Indonesia belum mengatur dasar kebijakan spektrum frekuensi. Sementara UU Telekomunikasi No. 36/1999 dan PP No. 53/2000 dinilai tidak mampu menjamin pengelolaan spektrum frekuensi lintas kementrian.
“Reformasi kebijakan spektrum frekuensi harus dilakukan,” tegasnya.
Untuk mengatasi izin spektrum frekuensi yang telah terlanjur banyak diberikan yang berlebihan dari kebutuhan pada sektor telekomunikasi, Asmiati menyebutkan pihaknya dan Fakultas Hukum UGM mengusulkan sejumlah perubahan mendasar kebijakan untuk dijadikan pertimbangan dalam perumusan UU Spektrum Frekuensi dan pembentukan Badan Spektrum Frekuensi Nasional.
Perubahan yang diperlukan diantaranya perubahan izin spektrum frekuensi penyelenggaraan telekomunikasi seluler dari cakupan nasional menjadi izin per-circle yang akan diklasifikasikan sesuai dengan karakteristik suatu area/kawasan dan lingkungannnya sehingga harga izin di metropolitan akan berbeda dengan kota kecil. Demikian pula dengan jumlah pemain per-circle bisa berbeda-beda.
“Perubahan kebijakan ini ditujukan untuk optimalisasi penggunaan spektrum frekuensi, membuka peluang pemain-pemain lokal, dan diharapkan akan meningkatkan PNBP lebih signifikan,” urainya.
Perubahan izin per-circle ini, kata dia, menjadi dasar perumusan UU Spektrum Frekuensi yang mencakup empat prinsip dasar manajemen spektrum frekuensi, yakni kebijakan alokasi, kebijakan penetapan izin, kebijakan nilai ekonomi, dan pembentukan Badan Spektrum Frekuensi Nasional. Kebijakan satu sama lain saling berkaitan yang dijadikan guidelines dan framework kebijakan dan regulasi yang kredibel, akuntabel dan komprehensif dalam satu kesatuan dalam sistem hukum spektrum frekuensi.
“UU dan Badan Spektrum Nasional sangat diperlukan. Namun, jangan sampai nantinya UU dan Badan Spektrum Nasional dibuat justru sesuai pesanan dan kepentingan para pemain swasta dan asing sehingga perlu dikawal dengan ketat,” pungkasnya.
Dosen Hukum Agraria FH UGM, Dr. Jur. Any Andjarwati, mengatakan terdapat kebutuhan yang mendesak dalam penataan spektrum frekuensi untuk pertahanan dan keamanan. Perebutan Slot Orbit satelit di ranah hukum internasional dan permasalahan minimnya filling slot, ancaman lingkungan serta kondisi alami NKRI, seharusnya sudah cukup memberi desakan pada diri pemerintah untuk segera mengambil kebijakan spektrum frekuensi yang konstruktif.
Pakar Ekonomi, Prof. Faisal Basri, menyoroti tentang pentingnya optimalisasi spektrum radio untuk memacu pertumbuhan yang inklusif. Dia menyebutkan selama tahun 2000 hingga 2014 sektor informasi dan komunikasi selalu tumbuh dua digit. Namun, dalam empat tahun terakhir mengalami perlambatan hingga hanya 7 % pada semester I-2018.
“Sumbangan sektor ini terhadap PDB menunjukkan peningkatan meski masih relatif kecil,”ungkapnya.
Karena memilik multiplier efek yang tinggi, Fasil menegaskan perlunya upaya khusus agar peranannya bisa lebih optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang melambat.
Sementara Guru Besar Hukum Dagang UGM, Prof. M.Hawin, dalam kesempatan itu memaparkan tentang hukum persaingan dan penggunaan spektrum. Dia menyebutkan ada kemungkinan pembelian spketrum dapat menyebabkan terjadinya distorsi terhadap persaingan usaha. Dengan memperbolehkan pelaku usaha untuk membeli spektrum yang lebih banyak akan menyebabkan pelaku usaha tersebut memperoleh posisi dominan baik di pasar spektrum tertentu atau pasar hilir. Posisi dominan tersebut bisa disalahgunakan untuk mendistorsi persaingan. (Humas UGM/Ika)