Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM pada hari Kamis, 5 Januari 2006 menyelenggarakan Seminar Bulanan bertema “Tinjauan Kritis Draft Rancangan UU Sistem Penyuluhan Pertanianâ€. Kegiatan yang diadakan di ruang seminar pusat studi setempat, menghadirkan pembicara yaitu Dr. Ir. Sri Peni Wastutiningsih.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Ir. Sri Peni Wastutiningsih menyampaikan bahwa pengertian penyuluhan yang dikembangkan Departemen Pertanian Republik Indonesia mengalami beberapa perubahan, antara lain berdasarkan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor; 54 Tahun 1996 dan Nomor: 301/ Kpts/ LP. 120/4/1996 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian.
“Yang dimaksud dengan penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan di luar sekolah di bidang pertanian untuk petani-nelayan dan keluarganya serta anggota masyarakat pertanian agar dinamika dan kemampuannya dalam memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dengan kekuatannya sendiri dapat berkembang, sehingga dapat meningkatkan peranan dan peran sertanya dalam pembangunan pertanianâ€, kata bu Peni.
Menurutnya, pada tahun 2002 pengertian yang dikembangkan adalah pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai. Pada tahun 2005 draft Revitalisasi Penyuluhan Pertanian dituliskan bahwa penyuluhan pertanian adalah kegiatan pendidikan non formal bagi petani dan keluarganya seagai wujud jaminan pemerintah atas hak petani untuk mendapatkan pendidikan. “Pada beberapa Naskah Penyusunan Rancangan Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian disebutkan bahwa penyuluhan pertanian upaya pemberdayaan petani beserta keluarganya dan pelaku usaha pertanian lainnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya untuk bekerja saling menguntungkan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraan,†kata bu Peni.
Dosen Fakultas Pertanian UGM ini juga menuturkan, dari beberapa definisi tersebut mengandung implikasi yang besar terhadap hadirnya undang-undang. Jika core penyuluhan adalah pendidikan non-formal mestinya tidak harus dibuatkan undang-undang. Sifat pendidikan non-formal adalah learner-centered, kurikulum yang variatif dan fleksibel tergantung sasaran, human relationship yang utama, materi pendidikan dan metodologi tergatung dari learners’ life styles dapat segera digunakan, tidak birokrais dan dengan pendekatan local untuk memecahkan masalahnya. Demikian juga dengan core pemberdayaan, tentunya sangat spesifik dengan sasaran penyuluhannya, sehingga kalau mekanisme kerja dan metode penyuluhan pertanian harus ditetapkan oleh Menteri, Gurbernur, atau Bupati/ Walikota (pasal 24, ayat 4) tentunya perlu ditinjau kembali, mengingat daerah satu belum tentu sama dengan daerah lainnya meskipun dalam satu kabupaten/ kota.
“Hal lain yang perlu dicermati dengan pilihan core penyuluhan adalah materi penyuluhan yang harus diverifikasi oleh instansi yang berwenang di bidang penyuluhan pertanian (pasal 26 ayat 1, 2, dan 3). Pada pelaksanaan di lapangan tentunya tidak mudah, karena materi yang diberikan belum tentu bisa ditentukan jauh hari sebelumnya, padahal instansi yang berwenang, melakukan verifikasi pada aras paling rendah adalah kecamatanâ€, terang bu Peni. (Humas UGM)