Pada tanggal 2 Januari 2006 telah terjadi banjir banding di Kecamatan Panti Jember, Jawa Timur, yang menyebabkan 119 orang tewas (data sampai tanggal 9 Januari 2006) dan bangunan rusak dengan kerugian mencapai Rp. 60 milyar. Banjir berasal dari Kali Putih. Sedangkan pada tanggal 4 Januari 2006 telah terjadi tanah longsor yang menimpa Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Banjar Negara, yang terletak di kaki berat Gunung Pawinihan. Peristiwa pelongsoran tersebut mengakibatkan 4 wilayah Rukun Tetangga tertimbun dan hingga Jum’at 6 Januari pukul 13.30 WIB korban yang ditemukan sebanyak 44 orang, yaitu 43 orang tewas terkubur, dan 1 orang meninggal di rumah sakit.
Untuk meneliti penyebab 2 bencana alam tersebut, maka pada tanggal 6 Januari 2006, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM telah memberangkatkan 2 tim ke Jember dan Banjarnegara. Tim yang berangkat ke Jember terdiri dari 4 orang, yaitu: Gayatri Indah Marliyani (Staf Pengajar Muda), Nguyen Minh Trung (mahasiswa S3), dan dua mahasiswa S1 tingkat akhir, yaitu: Peni Rostiarti dan Ferian Anggara, untuk memahami proses banjir bandang yang terjadi di daerah tersebut. Sementara tim yang ke Banjarnegara terdiri dari 2 asisten yaitu Sito Cahyono dan Sutrisno, ke daerah bencana untuk memahami peristiwa pelongsoran tersebut.
Menurut interpretasi Dr. Ir. Dwikorita Karnawati (12/01/06) berdasarkan material longsoran yang dijumpai di dusun Gunungraja yang terdiri dari atas Lumpur dan kerikil, longsoran yang terjadi ditafsirkan sebagai aliran masa tanah yang bercampur dengan air dan kerikil yang bergerak cepat (debris flow) dan menerjang sawah, kebun salak, dan sebagian pemukiman penduduk.
“Tanah longsor di dusun Gunungraja ini dikontrol oleh lereng yang terjal, batuan yang lapuk dengan ketebalan tanah sampai dengan 4 m, kehadiran rekahaan-rekahaan tanah yang sebenarnya merupakan gejala gerakan tanah, dan hujan lebat yang berlangsung lama. Air hujan yang meresap ke dalam tanah melalui retakan-retakan pada batuan menyebabkan penurunan daya kohesi tanah pada lereng, sehingga memeicu longsoran terjadi. Hutan pada bagian mahkota dan sekitar area longsor masih bagus, sehingga sementara ditafsirkan bahwa perubahan penggunaan lahan di bagian bawah lereng gunung tidak berperan secara signifikan terhadap pelongsoran saat ini,†kata bu Dwikorita.
Dosen Geologi UGM ini mengatakan bahwa tanah longsor terjadi pada dua titik berbeda, yang pertama terjadi pada pukul 03.00 WIB di bagian atas lereng gunung pada ketinggian 900 m dpl dengan arah longsoran ke tenggara (N 140 º E). Longsoran ini tidak mencapai bagian bawah lereng karena tertahan oleh tanggul alur air di bawahnya yang kemudian menjadi titik longsor ke dua. Akibat hujan yang menerus materi longsoran bertambah dan beban onggokan longsoran juga bertambah, dan pada pukul 05.00 WIB terjadi pelongsoran yang kedua ke arh timur (N 70 ºE) searah alur air yanga da sambil mebggerus batuan yang dilaluinya. Material longsoran yang berat ini membentur dan memberikan tekanan yang besar pada tebing lereng gunung di sebelah timur, sehingga tebing tersebut ikut longsor dan membelokkan arah longsoran ke tenggara yang lebih rendah menuju dusun Gunungraja. Tekanan yang besar pada tebing barat mengakibatkan pembentukan 7 rekan sejajar berarah barat-timur (N 85 º E) diatas tebing yang longsor di atas dusun Gunungraja. Akibat rekahan-rekahan tersebut badan jalan di daerah itu mengalami ambles sebesar 0,5 m. Lumpur yang mencapai dusun Gunungraja mencapai ketebalan hingga 5 m.
Sementara di Jember bu Dwikorita menyarankan, karena puncak musim hujan diperkirakan masih berlangsung sampai dengan bulan Februari 2006, diharapkan disamping melakukan kegiatan tanggap darurat dan rehabilitasi di daerah bencana banjir banding. Pemerintah Daerah di sekitar Gunung Argopuro perlu melakukan langkah mitigasi segera, antara lain lain dengan memantau daerah Gunung Argopuro yang di Peta Kerawanan Gerakan Tanah Jawa Timur 2003 telah dinyatakan sebagai Daerah Sangat Rawan. Pemantauan diutamakan pada gejala longsor dan gejala penyumbatan dilembah-lembah yang sempit di atas pemukiman, meningkatkan kewspadaan warga yang bermukim di kaki Gunung Argopuro, terutama di sekitar sungai. Jika terdapat penyumbatan diusahakan untuk dibongkar secara cermat di bawah instansi yang berkompeten dan bertanggung jawab atas permasalahan tersebut.
Lebih lanjut bu Dwikorita menjelaskan bahwa dalam jangka panjang perlu meninjau ulang tata ruang yang telah ada dengan memepertimbangkan potensi bencana geologi yang ada, mencari teknik penanggulangan bencana yang sekaligus dapat dijadikan peringatan dini gejala banjir dan longsor, memberdayakan masyarakat dalam hal bencanageologi dengan memberikan pendidikan sadar bencana. “Penghijauan kembali hutan gundul di lereng Gunung Argopuro merupakan faktor penting di dalam penanggulangan bencana longsor dan banjir, oleh sebab itu penghijauan (reboisasi) perlu dilakukan di bawah arahan instansi yang kompeten dan bertanggung jawab dalam hal tersebut,†terang bu Dwokorita. (Humas UGM).