Kepala Sub Direktorat Manajemen dan Klinik Farmasi, Kementerian Kesehatan RI, Dina Sintia Pamela, S.Si., M.Farm., Apt., mengatakan pelayanan obat dengan menggunakan e-farmasi adalah sebuah kebutuhan. Hal ini perlu dilakukan mengingat sedemikian cepat kemajuan di bidang informasi dan teknologi.
Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian agar obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan dan alat kesehatan mendapat jaminan keamanan dan mutunya selama proses pengantaran. Pengantaran obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan dan alat kesehatan ini merupakan tanggung jawab apoteker.
“Mestinya dalam pengantaran ini disertai informasi yang jelas secara tertulis,” ujarnya, di Hotel Mercure, Yogyakarta, Minggu (21/10) pada Seminar Nasional dengan tema “Strategi Pelayanan Kefarmasian berbasis Elektronik di Era Digital”.
Dina Sintia Pamela menuturkan pada era pelayanan e-farmasi nantinya apoteker harus memastikan informasi obat yang disampaikan sudah diterima dan dimengerti oleh pasien. Sementara pengantaran dalam keadaan tertutup serta harus menjamin kerahasiaan pasien.
Seminar Nasional dengan tema “Strategi Pelayanan Kefarmasian berbasis Elektronik di Era Digital” diselenggarakan Pharmacious BEM KM Fakultas Farmasi UGM. Tema ini diangkat karena pelayanan kefarmasian telah meluaskan fokusnya dari drug oriented berkembang menjadi patient oriented.
Nada Nisrina, penanggung jawab acara Pharmacious 2018, mengatakan dengan tema tersebut diharapkan dapat menciptakan pelayanan yang komprehensif kepada pasien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
“Tentu diperlukan inovasi-inovasi baru yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi di era digital ini. Salah satunya rancangan E-Farmasi. Di sini yang masih dibutuhkan langkah sosialisasi untuk mengenalkan mekanisme penerapan sistem E-Farmasi yang masih dianggap baru bagi masyarakat dan para apoteker,” ucap Nada.
Nada menyatakan masalah yang dihadapi saat ini adalah belum diterapkannya peraturan yang mengatur tentang mekanisme dan pelaksanaan E-Farmasi. Hal tersebut menjadikan masyarakat masih terus bertanya-tanya terkait terobosan soal ini.
“Kementerian Kesehatan sebagai lembaga yang berwenang mestinya dapat menjelaskan terkait rancangan regulasi pelayanan kefarmasian berbasis elektronik di era digital ini,”ungkapnya.
Roy Himawan, S.Farm.,Apt., MKM selaku Wakil Sekretaris Jenderal IAI menambahkan seorang apoteker dituntut berinteraksi dengan dokter, dokter gigi, ahli gizi, perawat dan lain-lain di bidang kesehatan. Mereka diharapkan secara bersama-sama dapat merumuskan kebijakan di bidang kesehatan.
“Peran apoteker terhadap obat dituntut dapat menjaga kualitas. Seperti diketahui, kualitas obat tersebut sama, seperti di saat obat keluar dari pabrik. Yang harus disosialisasikan obat itu tidak seperti baju, buku, pensil dan lain-lain. Obat harus diberikan sentuhan manusia,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung).