Rumah di samping jalan itu kini tidak lagi bisa ditempati. Tanah tempatnya berpijak merekah dan pecah seperti kaca menjadi berkeping-keping. Hal itu membuat bangunan rumah tadi miring, tiang-tiangnya roboh, dan dinding-dindingnya berjatuhan. Rumah tempat tinggal Suharyanto bersama istri dan anaknya di Desa Jono Oge, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi itu merupakan salah satu yang terkena dampak gempa berkekuatan 7,4 M yang melanda Palu dan sekitarnya pada Jumat (28/9) lalu.
Ketika gempa terjadi, Suharyanto sedang menyiapkan motornya untuk berangkat ke masjid untuk melaksanakan jamaah salat maghrib dan ketika itulah gempa pertama terjadi. Setelah itu, ia melihat tetangganya asal Makasar tergeletak di jalan depan rumahnya. Ia berusaha membawa ke rumahnya, namun ketika itu pelataran rumahnya juga mulai retak juga.
Seketika itu, ia memanggil istri dan anaknya keluar rumah untuk menyelamatkan diri ke lapangan terbuka. Di perjalanan ia melihat tanah di sekililingnya juga mulai retak, bahkan beberapa sampai naik. “Ketika kami lari, jalan depan rumah itu mencuat hampir dua meter, bunyinya duarrr!” terangnya sembari menunjuk jalan yang dimaksudnya.
Ia akhirnya menemukan lokasi aman di sebuah lahan rumah yang sedang dibangun tidak jauh dari rumahnya. Selain dirinya dan keluarga, lokasi itu juga menjadi tempat berlindung warga Desa Jono Oge lain yang berhasil menyelamatkan diri. “Kami memutuskan untuk bermalam di sana. Pagi harinya kami baru naik ke Desa Lolu,” tutur lelaki paruh baya yang akrab disapa Santeng ini.
Ketika tim dari UGM yang dipimpin Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D., dan Kagama Care mengunjunginya pada Minggu (21/10), Santeng sedang sibuk mengurusi keperluan posko tempatnya mengungsi. Ia bersama keluarganya menempati posko pengungsian 6 yang bertempat di Desa Lolu, Kecamatan Baromaru, Kabupaten Sigi. Ia berperan sebagai penasehat di sana. Tugasnya adalah membantu mengoordinasi kegiatan di posko
Santeng merupakan seorang transmigran asal Banyuwangi yang datang ke Palu pada tahun 1986. Sesampainya di Palu, ia diberikan sejumlah lahan untuk dimanfaatkannya bertani. Lahan tersebut berhasil ia manfaatkan sehingga akhirnya mampu membangun rumah yang ia tempati tadi pada 1998.
Sekarang, Santeng dikenal sebagai petani yang sukses dari Palu. Beberapa hasil taninya telah dikenal di kancah pertanian nasional, salah satunya biji bawang Sanren F1. Hal itulah yang membuatnya dilirik oleh PT East West Seed Indonesia (Ewindo) pada awal 2000-an.
Ia menceritakan bahwa setiap kali PT Ewindo ingin menempatkan karyawannya di daerah, biasanya akan training dulu ditempatnya selama dua bulan. Di sana, mereka akan diajari cara bertani yang benar.
“Di lahan saya kan ada berbagai macam jenis hasil tani, seperti tomat, timun, labu, dan semangka. Kadang ada karyawan lulusan pertanian tidak bisa membedakan mana bibit semangka. Untuk itu mereka dibawa ke saya,” kelakarnya.
Hal yang disyukuri Santeng adalah kondisi lahannya yang aman dari dampak gempa. Ketika lahan lain mengalami retak, ambles, bahkan terseret likuifaksi, lahannya cenderung baik-baik saja. “Ini modal saya untuk bangkit kembali,” sebutnya.
Santeng mengungkapkan bahwa sebelumnya terbesit niat untuk kembali ke Jawa karena melihat kondisi lingkungan yang ia tinggali sekarang. Namun, hal itu ia urungkan setelah mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kini, nantinya setelah kondisi stabil, ia berencana untuk menghidupkan kembali usaha pertaniannya dan tentunya membangun kembali rumahnya yang telah roboh tadi.
“Intinya saya akan bertahan di sini dan tidak menyerah untuk membangun hidup saya kembali!” pungkasnya yakin. (Humas UGM/Hakam)