Potret bencana yang terjadi di sekitar kita pada akhir-akhir ini membuka mata kita untuk memahami bahwa tempat tinggal kita merupakan daerah rawan aneka bencana. Oleh karena itu, Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM mengirimkan tiga tim untuk melakukan studi bencana yang terjadidi Indonesia, yaitu Tim Aceh untuk studi pascabencana tsunami, Tim Jember untuk studi bencana banjir banding, serta Tim Purworejo-Banjarnegara untuk studi longsor. Pada hari Kamis, 12 Januari 2006, telah dilakukan sdiskusi tentang hasil kunjungan lapangan Tim PSBA UGM ke Jember, Purworejo dan Banjarnegara. Diskusi ini dihadiri oleh para pakar inderaja, geomorfologi, geografi, hodrologi, konservasi sumberdaya hutan, pertanian, peternakan, dan lain-lain. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Studi Bencana Dr. Sunarto, MS dalam release (16/01/06). Hasil diskusi tersebut dapat dirangkum sebagai berikut.
Menurut dosen Fakultas Geografi UGM ini, bencana banjir yang melanda Kabupaten Jember pada tanggal 2 Januari 2006 yang lalu, dapat dikategorikan sebagai banjir banding yang melanda 3 desa, yaitu: Kemiri, Suci, dan Panti yang ketiganya termasuk dalam wilayah Kecamatan Panti. Terdapat tiga factor utama penyebab banjir bvandang di Kabupetan Jember, yaitu: faktor hidrometeorologi, kondisi fisik morfometri DAS Kaliputih, serta penutupan lahan. Ketiga factor tersebut menyebabkan meningkatnya overland flow yang bercampur kikisan tanah akibat perubahan land cover. “Untuk itu, langkah penting yang dibutuhkan oleh korban banjir banding tersebut antara lain: (i) membangun kamp pengungsi sementara untuk 6-9 bulan dengan dukungan logistik medis/paramedis, dan spiritual-psikologis, (ii) sebagai antisipasi ke depan, perlu dibentuk “masyarakat sadar bencana†terutama masyarakat yang bertempat tinggal di daerah rawan bencanaâ€, kata pak Sunarto.
Sedangkan, bencana longsor yang terjadi di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara pada tanggal 5 Januari 2006 yang lalu terletak di Kawasan Hutan milik Perhutani merupakan daerah pegunungan vulkanik, yaitu Gunung Pawinihan, dengan ketinggian hingga 1.240 m dpal. Gunung Pawinihan merupakan batuan gunungapi Kuarter dengan batuan andesit hipersten-augit yang mengandung hornblende dan basal olivine serta aliran lava dan breksi aliran dengan beberapa breksi piroklastik. Lapisan batuan ini terletak di atas Formasi Merawu merupakan batuan Tersier yang mengandung batulempung, konglomerat, serta tuff dasit. Tanah yang terbentuk di wilayah ini adalah Latosol. Secara fisik kondisi hutan cukup rapat dengan jenis tanaman Rasamala, yang semula merupakan hutan produksi terbatas (HPT) dan sejak tahun 2002 dialihfungsikan menjadi hutan lindung. Lereng pegunungan vulkanik yang mengalami pelongsoran memiliki kemiringan lebih dari 60º dan di bagian pegunungan yang mengalami pengelupasan tanakh memiliki kemiringan lereng 45º. Beda horizontal dari titik longsor ke desa sekitar 2 km. Sudut yang curam merupakan factor yang memperbesar daya luncur masa tanah. Pada kaki lereng mengalir Sunagi Landak yang tegak lurus terhadap arah lereng. Beda tinggi antara dasar sungai dan permukiman sekitar 3 m. “Perbedaan inilah yang menjadikan penduduk merasa aman dari bahaya longsor. Sebenarnya di wilayah lereng atas yang longsor pertama kali, masa tanah tertahan bukit di sebelah baratnya. Setelah volume air semakin membesar, maka massa tanah yang tertahan tersebut menjasi oebih berat dan meluncur membentur bukit, sehinggaterjadi pengelupasan. Saat massa Lumpur terakumulasi dan dengan gaya gravitasi itulah yang mengakibatkan terjadinya longsoran besar dan massa tanah dapat terlempar menimbun Desa Sijeruk tersebut. Semua kejadian itu dipacu oleh hujan yang sangat lebat dengan curah hujan rata-rata 44,4 mm/hari (BMG, 2006)â€, tutur pak Sunarto.
Lebih lanjut dikatakan pak Sunarto, ternyata berbagai bencana yang terjadi di musim penghujan ini sebagian besar terjadi di daerah gunungapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif, baik gunungapi Kuarter maupun gunungapi Tersier. Menyikapi perilaku masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, mau tidak mau, harus orangnya yang beradaptasi dengan lingkungannya dan responsive terhadap gejala-gejala alam. Beberapa rekayasa social untuk dapat mengarahkan masyarakat paham dan tanggap terhadap bencana longsor, perlu sejak dini dilakukan sosialisasi mitigasi bencana berbasis masyarakat, sambil memperkenalkan teknologi sederhana untuk mendeteksi gejala-gejala longsor. “Beberapa kegiatan mitigasi bencana longsor yang dapat disosialisasikan kepada masyarakat antara lain pola perilaku hujan setempat melalui BMG setempat, perlu dibangun temporary sattlement sebagai tempat pengungsian sementara ketika terjadi bencana, membangun kesadaran masyarakat agar tanggap terhadap bencana dan peka terhadap tanda-tanda alam, penerapan pola budidaya lahan dengan pengaturan regenerasi hutanâ€, ungkap pak Sunarto. (Humas UGM)