Perkebunan sawit masih menjadi isu menarik di tengah masyarakat. Keberadaannya masih menjadi pro dan kontra bagi banyak pihak.
Terlebih kebun sawit diduga menimbulkan banyak persoalan-persoalan lingkungan. Dari berbagai pemberitaan keberadaan kebun sawit menyebabkan kerugian dari berbagai aspek.
Salah satunya sebagai biodiversitas,. Sawit dianggap penyebab kepunahan berbagai spesies, seperti orang utan dan sebagainya. Ia juga dianggap sebagai penyebab bencana hidrometrologis.
Sebagai lahan monokultur sawit dianggap sebagai penyebab banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sawit juga dianggap penyebab utama terjadinya kabakaran hutan dan asap yang meluas sehingga mengganggu negara tetangga
“Ada banyak yang mendukung pernyataan tersebut. Untuk itu, kami Fakultas Kehutanan UGM menawarkan solusi untuk itu dan kami hanya membatasi pada 2,8 juta hektare lahan sawit di dalam hutan. Kami tim membatasi tidak seluruh sawit yang ada di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 14 juta hektare”, ujar Dr. Hero Marhaento, di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (25/10) pada Seminar Nasional Research Update Fakultas Kehutanan UGM tahun 2018.
Menurut Hero Marhaento isu soal sawit menjadikannya tidak hanya dibahas di tingkat nasional, namun global. Bahkan, sawit menjadi isu geopolitik yang menyebabkan berbagai negara Uni Eropa menolak produk-produk dari negara-negara yang tidak mendukung pembangunan berkelanjutan.
Bahkan, katanya, sawit dianggap sebagai salah satu penyebab deforestasi sehingga sempat muncul gagasan menjadikan sawit sebagai salah satu tanaman hutan. Hanya saja, muncul pertanyaan apakah dengan hanya merubah status sawit sebagai komoditas kehutanan kemudian persoalan selesai semuanya.
“Tentu tidak semudah itu, nah dalam diskusi-diskusi yang kami lakukan ada beberapa macam solusi yang ditawarkan,” ucap dosen Fakultas Kehutanan UGM.
Hero menandaskan kondisi 2,8 juta hektare kebun sawit berada di dalam kawasan hutan adalah fakta. Kondisi tersebut tentu tidak bisa hanya dibiarkan tetapi harus diselesaikan.
Upaya penegakkan hukum pun sudah dilakukan dengan tegas. Sayangnya, dengan cara ini menyebabkan terjadinya konflik dimana-mana. Oleh sebab itu, Fakultas Kehutanan UGM menawarkan konsep Jangka Benah.
“Konsep ini adalah konsep pengelolaan hutan khususnya pada pengelolaan hutan produksi di Jawa Tengah pada pertengahan abad XX. Jangka Benah merupakan periode pengaturan tegakan hutan untuk mengembalikan stok tegakan hutan menjadi seperti stok tegakan hutan normal,” katanya.
Bentukan kebun campuran ini, kata Hero, sebagai opsi karena beberapa hal. Peluang untuk diterima masyarakat sangat tinggi, meningkatkan resiliensi pendapatan petani dan masyarakat memiliki hak untuk mengelola lahan dan meningkatkan fungsi ekosistem hutan secara keseluruhan.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Budiadi, mengatakan Seminar Nasional Research Update Fakultas Kehutanan UGM tahun 2018 merupakan forum ilmiah untuk meramaikan dies ke-55 Fakultas Kehutanan UGM. Berbagai hasil riset dan pengabdian masyarakat para peneliti maupun non peneliti disajikan dalam kegiatan ini.
“Tema Menuju Kejayaan Kehutanan Indonesia memang sengaja dipilih karena selama dua dekade atau 20 tahun terakhir kondisi kehutanan secara umum sedang menurun, terutama sejak era reformasi. Ini tentunya terkait bagaimana interaksi antara manusia dengan hutan atau manusia dengan lingkungannya,” kata Dekan.
Oleh karena itu, perkembangan hasil-hasil riset dan pengabdian pada masyarakat selama 20 tahun terakhir diharapkan menjadi pijakan untuk bergerak maju kembali atau bangkit menuju kejayaan kehutanan Indonesia ke depan. Dengan berbagai kemajuan di bidang teknologi dan informasi diharapkan sivitas akademika Fakultas Kehutanan UGM bisa menyesuaikannya.
“Apa yang kita diskusikan sedikit banyak terkait dengan masa depan kehutanan menghadapi 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada tahun 2045. Banyak hal yang berbeda sejak mengalami masa-masa keprihatinan tersebut sehingga saat inilah kita bisa mengusulkan berbagai opsi sebagai bagian dari kebijakan pemerintah di bidang kehutanan,” imbuhnya.
Beberapa pembicara hadir dalam seminar ini, antara lain Dr. Ani Adiwinata Nawir (CIFOR), Dr. Marc Peeters (Bambu Nusa Verde) dan Prof. Dr. Ir. Muhammad Na’iem, M.Agr.Sc. (Fakultas Kehutanan UGM) (Humas UGM/ Agung)