Sesungguhnya mobilitas akademik dan pertukaran pendidikan antar tapal batas sudah sejak lama menjadi salah satu ciri pokok pendidikan tinggi. Bahkan dapat dikatakan lembaga-lembaga pendidikan tinggi diseluruh dunia berkembang pesat karena pertukaran akademik dan kultural. Hanya saja, pada 10 tahun terakhir ini pendidikan semakin dipandang sebagai suatu jasa yang dapat diperdagangkan antara tapal batas secara komersial, bahkan perjanjian-perjanjian perdagangan secara terang-terangan memandang pendidikan sebagai sektor perdagangan yang amat menguntungkan. Karena perkembangan inilah para perumus kebijakan pendidikan seharusnya semakin menyadari peluang dan resiko dari liberalisasi perdagangan pada pendidikan suatu negara bila persyaratan-persyaratan dasar tentang layanan pendidikan antar tapal batas tidak dipenuhi. Demikian disampaikan Rektor UGM Prof. Dr. Sofian Effendi saat melepas 835 wisudawan wisudawati lulusan sekolah pascasarjana UGM hari Rabu (26/1/2005) di Grha Sabha Pramana.
Ditambahkan Pak Sofian, dengan pertimbangan ingin melibatkan negara lain dalam pembangunan pendidikan nasional, UU Sisdiknas mulai membuka peluang kepada lembaga pendidikan internasional untuk menyediakan pendidikan kejuruan dan pendidikan tinggi. Khusus untuk pendidikan tinggi, tujuan pemerintah adalah mempercepat peningkatan mutu melalui lembaga pendidikan internasional. “Tetapi, dengan membuka Indonesian border kepada lembaga pendidikan dari negara lain juga mengandung resiko karena yang lebih cepat memanfaatkan peluang yang terbuka tersebut bukannya lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas sekelas Universitas Harvard, Universitas Oxford atau universitas-universitas ternama lainnya, namun lembaga-lembaga pendidikan tanpa nama yang hanya akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui jasa pendidikan tinggi yang tidak berkualitas. Sekarang saja kita menyaksikan adanya lembaga-lembaga penjual gelar yang menawarkan gelar apa saja tanpa proses pembelajaranâ€, tandas dosen Fisipol UGM.
Menurut Pak Sofian, dalam globalisasi pendidikan tinggi, negara-negara berkembang seperti Indonesia, RRC, India, Vietnam dan negara-negara Eropa Timur memang menjadi focus perhatian negara-negara maju karena potensi “pasarâ€nya amat besar. Data Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas menunjukkan saat ini 4 juta mahasiswa terdaftar pada lebih kurang 2381 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Dengan jumlah penduduk usia 19-24 tahun sebesar lebih kurang 28 juta orang, berate tingkat partisipasi pendidikan tinggi nasional baru sekitar 14 persen. “Tingkat partisipasi tersebut berada jauh di bawah negara-negara anggota Asean yang telah mencapai tingkat partisipasi sebesar 28 di Malaysia sampai 30 persen di Filipina. Bahkan negara-negara maju yang tergabung dalam OECD sudah mencanangkan tingkat partisipasi pendidikan tinggi sebesar 50 persen dari penduduk usia 19-24 tahunâ€, tambah Pak Sofian. (Mon)