Tema revolusi industri 4.0 nampaknya sedang menjadi tema yang sangat menarik. Tema ini selalu diangkat dalam berbagai forum karena kehadiran revolusi industri 4.0 memengaruhi segala bidang hidup manusia.
Revolusi industri 4.0 merupakan revolusi industri keempat dan hadir setelah terjadi revolusi industri pertama dengan ditemukannya mesin uap. Revolusi industri kedua yang berkaitan dengan listrik, revolusi industri ketiga yang serba komputerisasi.
“Revolusi industri 4.0 ditandai perkembangan teknologi dan informasi yang sangat luar biasa. Dalam era ini sering terdengar istilah artificial intelligent, robotika, internet of thinks hingga mesin cetak 3D,” ujar Ruly Nuryanto, S.E., M.Si, Deputi Pengembangan SDM, Kementerian Koperasi & UKM RI, di Hotel Tara Jogjakarta, Selasa (31/10).
Ruly menuturkan dalam perkembangan teknologi informasi yang luar biasa memunculkan istilah disruptive teknologi dan disruptive ekonomi. Kata-kata disruptive ini memperlihatkan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah “mengganggu” kemapanan usaha-usaha besar yang ada.
“Kita lihat sekarang fenomena bidang retail dengan berkembangnya e-commerse, belum lama SHC di AS salah satu jaringan retail yang besar terpaksa menutup gerainya dan mengajukan pailit. Disamping terjadi mismanagement, ditengarai corporat ini gagap dalam mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang terjadi dewasa ini. Ia “kalah” bersaing dalam mengantisipasi perkembangan e-commerse,” ujar Ruly.
Karena itu, menurut Ruly, berbicara revolusi industri 4.0 ukuran besar perusahaan tidak lagi menjadi jaminan, namun lebih kepada bagaimana kelincahan suatu perusahaan dalam mengakomodasi atau mengantisipasi perubahan yang terjadi. Dalam konteks ini maka UMKM dan koperasi sebagai salah satu pelaku usaha mau tidak mau harus siap dan mengantisipasi perkembangan ini.
“Dalam kontek inilah kemitraan menjadi penting, jadi ketika bicara perkembangan teknologi informasi yang luar biasa dewasa ini yang memengaruhi para konsumen dan memengaruhi pola hidup masyarakat maka sangat relevan jika kita membicarakan kerja sama dan bukan lagi persaingan,” katanya.
Misalnya terkait perkembangan Gojek maka salah satu perusahaan taksi terbesar di Indonesia Blue Bird pada akhirnya bekerja sama dalam penggunaan aplikasi. Contoh ini merupakan salah satu cara yang dimanfaatkan.
Untuk itu yang berkembang saat ini adalah sharing ekonomi yaitu ekonomi yang berbagi sehingga antar pelaku usaha tidak lagi bicara persaingan, namun kemitraan.
Berbicara kemitraan, kata Ruly, ada tiga poin utama yang perlu diperhatikan. Pertama, masing-masing pihak memiliki kesamaan visi dan misi antara pihak-pihak yang bermitra, trust (kepercayaan) dan komitmen kuat dari masing-masing pihak yang bermitra.
“Tiga hal tersebut adalah hal yang harus dijaga jika kita ingin membagun kemitraan yang baik. Kemitraan yang sehat dan saling menguntungkan,” terangnya pada Workshop & Temu Bisnis Nasional UMKM bertema “Mewujudkan Sinergi Kemitraan UMKM Menuju Usaha Kecil Yang Tangguh dan Berdaya Saing di Era Revolusi Industri 4.0.
Direktur Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Prof. Ir. Irfan Dwidya Prijambada M.Eng., Ph.D., mengatakan UGM sejak tahun 2012 bertekad kembali ke khitohnya sebagai universitas kerakyatan dan universitas perjuangan. Salah satu khitoh yang dikembalikan terkait darma pengabdian.
Dengan darma ini maka UGM kemudian membentuk subunit yang menangani pengembangan UMKM dan Koperasi. Banyak hal yang sudah dilakukan dengan subunit ini, namun belum sempurna terutama dalam memfokuskan pada pengembangan pemasaran di era revolusi industri 4.0.
“Revolusi industri 4.0 adalah revolusi yang mendekatkan pasar kepada produsen. Kalau dulu pasar melalui pasar tradisional atau modern, sekarang pasar didekatkan dengan teknologi informasi sehingga pasar bisa memasarkan langsung produknya,” ujar Irfan.
Dian Permanasari, M.Dev, Kasubdit Metodologi & Analisis Riset, Badan Ekonomi Kreatif, menambahkan kehadiran revolusi industri 4.0 bisa dimanfaatkan untuk pengembangan industri. Di era ini teknologi dan informasi menjadi mesin utama sehingga data dan informasi menjadi senjata.
“Di era ini iklim bisnis berubah, bisnis konvensional berubah menjadi berbagai macam jenis bisnis baru, dan ini menjadi kesemapatan untuk mendevelop bisnis-bisnis kita”, katanya.
Dian menyebut populasi penduduk Indonesia sebanyak 262 juta orang, lebih dari 50 persen aktif menggunakan internet. Sayangnya 87,13 persen dari 143,26 juta penduduk Indonesia menggunakannya hanya untuk media sosial, padahal internet sesungguhnya bisa dipergunakan untuk peningkatan produktivitas.
“Kita sedang fokus disini, apa-apa yang bisa kita manfaatkan karena internet bisa untuk meningkatkan marketing, branding dan belanja. Dari 143,26 juta sebanyak 50,08 persen menggunakan internet dengan ponsel. Data dari Indonesia Digital Landscape 2018 maka 90 menit per bulan rata-rata orang Indonesia menggunakannya untuk belanja online. Angka ini cukup besar, dari situ kita tahu internet bisa memberi peluang besar untuk berkembang,” ucapnya. (Humas UGM/ Agung; foto: Firsto)