![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/31101815409669031280723800-765x510.jpg)
Kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Lombok, Palu dan Donggala menambah panjang deretan bencana yang melanda Indonesia. Tingginya tingkat paparan masyarakat terhadap potensi ancaman bencana ini memerlukan upaya kesiapsiagaan dan kesadaran bersama untuk menghadapinya. Apalagi, setiap kali terjadi bencana selalu berdampak pada kondisi sosial khususnya untuk kelompok rentan, seperti bayi, balita, ibu hamil, dan lansia. Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam Talkshow yang bertajuk Darurat Kebencanaan dan Manajemen Kelompok Rentan yang berlangsung di ruang Theatre Perpustakaan di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Rabu (31/10).
Anggota Tim Disaster FKKMK UGM, dr. Bella Donna, S.K.M., M.Kes., mengatakan kelompok rentan diprioritaskan dalam penanganan korban dalam kondisi bencana. “Kelompok rentan ini menjadi prioritas untuk diselamatkan dan penanganan sisi kesehatannya,” kata Bella.
Bagi para relawan dan tim medis yang diterjunkan dalam kondisi bencana juga diharuskan memetakan jumlah kelompok rentan yang berada di pos pengungsian dan daerah yang terkena dampak bencana. “Pemetaan ini sangat penting dalam penanggulangan korban terdampak,” katanya.
Soal darurat kebencanaan khususnya penetapan status bencana, menurut Bella, menjadi urusan kebijakan pemerintah. Penetapan status musibah bencana menjadi bencana nasional tidak mudah karena indikator penetapan status tersebut berdasarkan indikator jumlah korban dan tingkat kerusakan serta kemampuan SDM daerah setempat. Meskipun penetapan bencana nasional mempermudah masuknya bantuan dari luar masuk ke Indonesia. “Penetapan suatu bencana sebagai bencana nasional terkait jumlah korban dan jumlah kerusakan, lalu apakah pemerintah daerah masih mampu dan masih ada orang yang bekerja sehingga tidak perlu status bencana nasional,” katanya.
Bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, kata Bella, meski statusnya bukan bencana nasional, namun pemerintah memperbolehkan bantuan tenaga medis dari luar dengan menyesuaikan tingkat kebutuhan. “Untuk tenaga kesehatan di Palu sudah tidak perlu tenaga dari luar, dokter bedah tulang di Palu sudah turun 60 orang, itu sudah cukup, jika pun kurang kita tinggal meminta dokter spesialis lainnya dari daerah lain,” katanya.
Bella yang menjadi tim kesehatan saat bencana Palu tersebut mengatakan saat ini sudah ada 2.600 relawan yang berada di daerah Sulawesi Tengah. Sementara tenaga kesehatan dari luar berkoordinasi dengan pihak WHO. Menurutnya, saat ini tenaga kesehatan tidak lagi menangani operasi bedah tulang, namun penanganan penyakit para pengungsi yang tinggal sementara di tenda dan pos pengungsian. “Semua tenaga kesehatan, relawan dan SDM pemda sudah mampu menanganinya, tim kesehatan saat ini lebih banyak menangani penyakit yang muncul pada pos pengungsian karena mereka masih tidur di tenda beralaskan tikar,” katanya.
Danang Samsurizal dari Tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY mengatakan setiap daerah umumnya kesulitan mengirim tim tenaga kesehatan ke daerah lain yang terkena bencana karena tidak ada anggaran untuk kegiatan respons cepat kemanusiaan. Menurutnya, setiap daerah sebaiknya perlu mengalokasikan dana cadangan untuk kegiatan kemanusiaan yang sumber dananya berasal dari pihak ketiga. “Perlu dana cadangan yang dikelola dari dana charity atau CSR,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)