Komunitas Antarbudaya Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM pada hari Kamis, 26 Januari 2006 menggelar seminar bertema “Ragam Pemaknaan Alun-alun Utara dan Problematika Pemanfaatannya (Perspektif Antarbudaya)â€. Seminar yang bertempat di Ruang Diskusi PSAP UGM tersebut, menghadirkan pembicara Ir. Revianto Budisantoso, M.Arch.
Dalam seminar tersebut, Ir. Revianto Budisantoso, M.Arch menyampaikan bahwa wacana pembangunan lahan parkir di bawah Alun-alun Utara yang digagas Pemkot dan Pemprov Yogyakarta menuai pro dan kontra. “Hal tersebut menunjukkan bahwa Alun-alun Utara sebagai bagian integral dari Keraton dan Yogyakarta tidak bebas nilai. Ia tidak semata-mata merupakan lapangan terbuka yang luas, karena ia juga adalah warisan budaya, ruang publik cerminan kosmologi Jawa, lahan mengais rejeki, dan juga lahanyang memiliki nilai ekologis tertentuâ€, tutur pak Revianto.
Selama ini, kata pak Revianto, warisan budaya seringkali dipandang sebagai entitas ‘benda mati’. Padahal, sebagai sebuah karya manusia, Alun-alun bukanlah merupakan wujud yang mati, melainkan memiliki nilai-nilai tertentu dan mencerminkan gagasan dari masyarakat pendukungnya di masa lalu. Ketika warisan budaya itu pindah kepemilikan ke generasi berikutnya, maka pemaknaannya pun mengalami perubahan sesuai dengan konteks sosialnya. “Apalagi Alun-alun tergolong living monument atau tinggalan yang masih digunakan hingga sekarang dan ada pemiliknya. Pemanfaatan dan pelestasriannya tentu tidak semudah seperti memperlakukan Borobudur atau Prambanan yang sudah ditinggalkan ‘pemiliknyaâ€, ujar pak Revianto.
Lebih jauh pak Revianto mengatakan bahwa warisan budaya lebih merupakan sebagai sebuah symbol yang memiliki ragam makna. Selain warisan budaya itu memiliki nilai sejarah dan cultural yang melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke generasi. Bahkan dalam generasi, makna tersebut bisa beragam, misalnya orangpun berbada pendapat tentang Alun-alun sebagai representasi dari konsep kosmologi. Berdasarkan asumsi inilah maka prespektif antarbudaya menjadi cukup strategis digunakan dalam memahami pro dan kontra pemanfaatan Alun-alun Utara.
“Berhasil tidaknya rencana pembangunan lahan parkir di bawah Alun-alun Utara sebenarnya bukanlah hal yang sangat penting. Yang terpenting dari kasus Alun-alun Utara adalah sebuah proses pembelajaran bagaimana sebuah warisan budaya diperlakukan, karena upaya-upaya konservasi warisan biudaya di Indonesia seringkali mengabaikan pemaknaan antargenerasi dan antarbudayaâ€, ungkap pak Revianto. (Humas UGM)