Melihat kembali Aceh dalam masa-masa darurat kemanusiaan sebelum dan setelah mengalami goncangan gempa dan tsunami dipenghujung tahun tahun 2004 lalu, adalah melihat Aceh dalam sisi kekerasan yang selama ini terus menderanya.
Konflik bersenjata antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung lebih dari seprempat abad di bumi Nanggroe Aceh Darussalam, hingga kini belum juga reda. Akibat konflik bersenjata yang begitu lama, lebih dari 15. 000 orang menjadi korban. Mayoritas korban konflik bersenjata adalah masyarakat sipil yang notabene adalah perempuan dan anak-anak.
Keinginan kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik secara permanent terkesan setengah hati. Hal ini terlihat jelas dari pengalaman proses perdamaian saat jeda kemanusiaan tahun 2000, Penandatanganan Kesepahaman Sementara taun 2001, dan pada saat disepakatinya Cessation of Hostilities Agreement (COHA) tahun 2003.
Dari laporan Internasional Crisis Group (ICG) Mei 2003 lalu yang berjudul “Mengapa Pilihan Aksi Militer Tetap tidak Menyelesaikan Masalah?, dikatakan kegagalan COHA disebabkan dua pihak yang bertikai tidak tertarik menjalankan hasil perundingan. Lebih lanjut dari laporan itu, ICG menjelaskan fakta-fakta inkonsistensi kedua belah pihak yang menyebabkan kegagalan COHA. Gerakan Aceh Merdeka memanfaatkan jeda kemanusiaan sesudah perjanjian bulan Desember untuk memperkuat pasukannya. Hal ini ditambah dengan pelanggran zona damai. TNI sendiri ditengarai berada dibelakang penyerangan pada bulan Maret dan april terhadap kantor Joint Commitees (JSC) yang didirikan untuk melakukan pemantauan terhadap hasil persetujuan perundingan.
Analisa ICG tentang politik setengah hati kedua belah pihak semakin terbukti. Saat pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 2003 lalu mengeluarkan maklumat tentang penerapan status darurat militer (DM) di Aceh. Kebijakan dikeluarkan tepat sehari setelah perundinga COHA mengalami kebuntuan. Dengan demikian, dua pihak yang saling bertikai kembali memilih medan pertempuran sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. Tak kurang 5 operasi militer yaitu Darurat Militer I dan II, Darurat Sipil, dan perpanjangannya, serta tertib sipil yang sekarang diberlakukannya terbukti tidak mampu menyelesaikan konflik.
Dengan dibukanya kembali proses dialog ditengah konflik dan situasi bencana serta dalam perundingan Helsinki Agustus 2005 lalu, baik pemerintah maupun GAM harus memberikan jaminan pada masyarakat Aceh bahwa perundingan yang mereka lakukan benar-benar ditujukan untuk membangun masa depan Aceh yang damai dan sejahtera. Kedua belah pihak harus menjelaskan bahwa mereka tidak akan lagi mengedepankan kepentingan dan arogansi masing-masing yang tidak mengakibatkan kesepakatan yang telah dibuat dkhianati, seperti pada masa COHA. Pertanyaan besarnya kemudian mampukah kedua belah pihak melakukan itu.
Perundingan Helsinki menjadi momentum penting bagi keterlibatan masyarakat sipil Aceh untuk berpartisipasi aktif dalam mengawal proses perdamaian di bumi serambi mekkah. Oleh karena itu, untuk mendukung upaya tersebut dibutuhkan pengorganisasian yang massif di tingkat masyarakat sipil Aceh untuk berpartisipasi aktif dalam mengawal proses perdamaian.
Karena itulah, kampanye perdamaian di Aceh perlu di dukung. Sebagaimana yang dilakukan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, hari Senin tanggal 30 Januari 2006 dengan menggelar “Seminar Kampanye Perdamaian untuk Acehâ€. Apalagi pasca tsunami, seperti dituturkan Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, Muhadi Sugiono, M.A, perhatian publik maupun pemberitaan di media massa lebih banyak membicarakan mengenai penanganan pasca tsunami dan sangat sedikit yang membicarakan mengenai penyelesaian konflik di Aceh yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Ditambahkan Pak Muhadi seminar yang berlangsung di ruang Seminar Fisipol UGM ini, menghadirkan pembicara antara lain Amiruddin dari Elsam Jakarta, Rafendi Jamin (HRWG Jakarta) dan M. Najib Azca (PSKP UGM). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengkampanyekan perdamaian di Aceh, agar masyarakat baik di dalam maupun luar Aceh memahami dan memberikan dukungan bahwa pendekatan militer yang diterapkan di Aceh selama ini tidak bisa digunakan sebagai solusi memecahkan masalah. “Transisi demokrasi di negeri ini membutuhkan upaya pendekatan dan diplomasi sipil. Sehingga di masa depan, metode kekerasan perlahan dapat hilang dan berganti dengan metode politik dan supremasi sipilâ€, tegas Muhadi, dosen Fisipol UGM(Humas UGM).