
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional yang menginjak tahun ke-5 masih memiliki berbagai permasalahan dalam pelayanan kesehatan, tata kelola, maupun pembentukan kebijakan. Sementara itu, BPJS Kesehatan meski memberi manfaat kepada ratusan juta masyarakat Indonesia secara keseluruhan, namun berdasar hasil penelitian sementara terhadap 8 sasaran peta menuju JKN dapat dinyatakan belum tercapai semuanya.
Bahkan, BPJS Kesehatan hingga kini mengalami defisit anggaran lebih dari Rp10 triliun. Jika dihitung dari tahun-tahun sebelumnya, tunggakan BPJS Kesehatan mencapai Rp16 triliun dan saat ini sudah dibayar oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp4,9 triliun.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro., M.Sc., Ph.D, Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, menuturkan defisit keuangan yang mendera Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sesungguhnya tidak hanya disebabkan peserta mandiri yang menunggak iuran. Hasil penelitian menunjukkan karena tidak tepatnya sasaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta sosialisasi yang salah juga turut menjadi andil penyebab membengkaknya angka defisit keuangan BPJS.
“Sumber defisit paling banyak dari kelompok mandiri atau PBPU [Peserta Bukan Penerima Upah]. Ini kelompok yang paling bermasalah,” katanya dalam jumpa pers Forum Nasional VIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) di FK-KMK UGM, Rabu (7/11).
Trisnantoro menyebut sebanyak 46 persen peserta mandiri tidak teratur membayar premi sehingga membuat anggaran BPJS Kesehatan minus. Premi yang dibayarkan dengan manfaat yang diperoleh peserta yang tidak seimbang juga turut andil dalam permasalahan ini. Premi PBPU kelas 1 hanya Rp80.000 sementara fasilitas yang diperoleh cukup besar.
Dr. dr. Deni Sunjaya, DES dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran menambahkan faktor tunggakan peserta mandiri sebenarnya bukan satu-satunya faktor yang menjadi biang kerok defisit keuangan BPJS. Menurutnya, setelah dilakukan penelitian kondisi pelaksanaan program JKN di 13 kabupaten/kota di Jawa Barat maka ditemukan pendataan atau pemetaan peserta tidak tepat.
“PBI yang dulu didaftar sebagai peserta JKN oleh Kemensos [Kementerian Sosial], ternyata di lapangan banyak yang seharusnya PBPU [peserta mandiri]. Ada PBPU yang juga sudah meninggal,” katanya.
Deni menjelaskan sosialisasi BPJS Kesehatan selama ini juga masih kurang tepat dan lebih patut disebut diseminasi informasi, bukan sosialisasi. Sosialisasi yang tepat, menurutnya, bisa membuat orang patuh membayar.
Diakuinya, untuk mengubah perilaku masyarakat Indonesia tidak mudah karena banyak peserta mandiri yang membayar premi hanya di saat sakit. Mereka tidak paham jika membayar premi bisa membuat program ini terus berkelanjutan.
“Perilaku saat masih menjadi peserta Askes terbawa sampai sekarang,” katanya.
Kendati sudah ada standar pelaksanaan program BPJS Kesehatan secara nasional, Deni berharap berbagai inovasi di daerah perlu untuk mendapat perhatikan. Pegawai BPJS Kesehatan di tingkat daerah harus mampu bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mencari terobosan yang tepat untuk peserta BPJS Kesehatan di daerahnya masing-masing.
Shita Listyadewi dari FKKMK UGM berharap penyelenggaraan Forum Nasional ke VIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat memberikan masukan untuk pengambilan kebijakan masa depan JKN. Forum ini diharapkan pula berdampak adanya kerja sama antara pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah dengan para analis kebijakan di tingkat perguruan tinggi. (Humas UGM/ Agung)