Salah satu kendala terkait program pengentasan kemiskinan adalah masih beragamnya sumber-sumber data untuk pengambilan kebijakan. Data yang lazim digunakan di tingkat nasional, propinsi, kota atau kabupaten bersumber pada BPS, KPK dan BKKBN. Dalam prakteknya, berbagai sumber data tersebut menampilkan beragam parameter untuk mengidentifikasikan kesejahteraan keluarga atau individu. Permasalahan lainnya unit pengukuran bervariasi dan waktu pelaksanaan tidak kontinyu. Sebagai contoh indikator kesejahteraan yang dipakai BPS berdasar pada survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Karena metode yang digunakan survei maka identifikasi yang diperoleh hanya berlaku untuk tingkat agregat atau tidak mampu mengidentifikasi kesejahteraan “by nameâ€. Dipihak lain, data yang dikumpulkan oleh BKKBN, mampu mengidentifikasi kesejahteraan sampai tingkat keluarga akan tetapi memiliki validitas dan realibilitas yang (oleh sementara kalangan) dianggap rendah. “Beragamnya sumber data tersebut menghasilkan beragam kesimpulan tentang kondisi kesejahteraan yang berimplikasi pada ketidaktepatan pengambilan keputusan untuk intervensi. Beberapa contoh yang membuktikan kesimpangsiuran data tersebut misalnya dalam menentukan jumlah KK miskinâ€, ujar Drs. Setiadi, M.Si, staf peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Dosen Jurusan Anthropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM ini menyampaikan makalah berjudul Pengentasan Kemiskinan Secara Parsipatoris: Refleksi Hasil Kajian Mikro saat seminar bertema Merumuskan Agenda Publik: Isu Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Desentralisasi, yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM hari Senin 6 Februari 2006, diruang seminar PSKK Unit II.
Kata Setiadi, melihat kemiskinan secara komprehensif dari sisi lain, berarti melihat dasar permasalahan kemiskinan merupakan masalah struktural dan multi dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain. Dimensi-dimensi kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (i) tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi. (ii) tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (iii) rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak dan (iv) rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, hunian atau perumahan dan pemukiman dan sebagainya.
Menurut Setiadi, pemahaman sifat multidimensi atas kemiskinan memberikan dasar bagi munculnya berbagai program yang didasarkan asumsi bahwa kemiskinan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kebutuhan hidup sehat, kebutuhan akan pendidikan, dan kebutuhan memperoleh penghargaan dan sebagainya. “Penduduk miskin dipandang tidak berdaya, sebagaimana pendapat Mubyarto (1997), karena mereka tidak memiliki asset sebagai sumber pendapatan yang juga disebabkan struktur sosial ekonomi tidak membuka peluang bagi orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkalâ€, tandas Setiadi.
Oleh karena itu dalam seminar sehari tersebut Setiadi melakukan review atas permasalahan-permasalahan aleviasi kemiskinan dan pemahaman tentang hakekat permasalahan pengentasan kemiskinan perspektif masyarakat sasaran, yang didasarkan dari hasil kajian terhadap beberapa program penanggulangan kemiskinan di wilayah DIY dan Jawa Tengah (Humas UGM).