Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM pada hari Kamis, 16 Februari 2006 menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Menggagas Pembaharuan Bagi Penguatan Hak-Hak Dasar Warga dalam Pelayanan Publik (Rights-based Public Service) di Ruang Seminar Fisipol UGM. Hadir sebagai pembicara diantaranya Cornelis Lay, MA, Dr. Purwo Santoso, MA dan Budi Prasetyo, MA (Ketua BAPPEDA Magelang).
Menurut Ketua Seminar Sigit Pamungkas, SIP, seminar ini merumuskan kembali pembaharuan bagi penguatan hak-hak dasar warga dalam pelayanan publik (Rights-Based Public Services). Perbincangan diseminar ini mengurai kembali problem-problem ideology dan dilemma yang dihadapi oleh para praktisi di dalam lapangan public yang dianggap menghambat pelayanan publik berbasis hak-hak warga. Selain itu diskusi pada seminar ini juga menawarkan perbincangan yang menarik dalam praktik governance pelayanan public berbasis hak-hak warga.
Seminar ini diselenggarakan untuk merespon perkembangan adanya penanganan bencana alam, kasus formalin sampai isu busung lapar dan beragam permasalahan di berbagai daerah di Indonesia membuat kita bertanya kembali tentang kapasitas negara dalam menjamin kebutuhan masyarakat. Tentu juga hal ini akan melayangkan pertanyaan di pikiran kita tentang beragam kebutuhan publik lain yang lebih pokok, seperti pendidikan, keamanan, dan lainnya? Dalam paradigma lama pelayanan publik, pemerintah ditempatkan sebagai otoritas tunggal untuk memberikan pelayanan kepada warga negaranya, artinya bahwa negaralah satu-satunya penyedia sarana kepentingan publik. Dengan semakin kuatnya logika pasar berkembang juga pemahaman untuk menempatkan pelayan publik pada swasta (new public management). Namun pemahaman ini membawa konsekuensi yang meletakkan warga sebagai konsumen sehingga akses mereka terhadap pelayanan menjadi terbatas.
Lebih lanjut, seiring dengan perkembangan jaman, banyak pihak non-pemerintah yang mengambil peran dalam pelayanan publik. Penyediaan sarana publik kemudian tidak hanya menjadi monopoli pemerintah, beragam pelayanan dari kesehatan, pendidikan, dan lainnya berbagi peran dengan pemerintah. Namun demikian peran negara sebagai pemegang otoritas penyediaan public goods boleh jadi tidak serta merta tergantikan dengan sector lain. Yang mungkin terjadi adalah adanya sharing dengan actor lain sebagai co-provider. Meskipun demikian, adanya sharingdengan akor lain tersebut, tidak lantas melupakan kepentingan dimensi publik. Konsepsi dasar tentang kepada siapa respon pelayanan publik diberikan, tentunya tetap pada pemahaman citizenship. Gagasan utama yang menjadi identitas dari perkembangan ini adalah menempatkan citizens (warga negara) sebagai muara dari proses pengelolaan sektor publik. Pemerintah berperan sebagai pelayan (serving), bukan dalam arti melayani masyarakat secara langsung. Peran penting negara disini justru mejadi negosiator dan jembatan kepentingan antara warga negara dan kelompok komunitas dalam membangun konsessus nilai.
“Tawaran-tawaran yang mungkin dapat dilakukan untuk merespon perkembangan ini adalah dengan menciptakan sebuah koalisi agen publik, non-profit dan swasta atas dasar kebutuhan bersama. Namun begitu ada beberapa persoalan yang menjadi dilemma birokrasi kita selama ini, tradisi dari birokrasi sendiri yang justru minta dilayani oleh masyarakat, dan persoalan teknis lainnya seperti dokumentasi yang sebenarnya menjadi pondasi dari sebuah pelayanan kepada warga. Persoalan lain yang menjadi problem adalah tidak adanya sistenm pembakuan dalam administrasi pelayanan public sehingga memunculkan banyak celah yang disalahgunakan. Selain itu resources masih juga kendala utamaâ€, lanjutnya. (Humas UGM)