
Buruknya peringkat Indonesia dalam Corruption Perception Index (CPI) tahun 2017 menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih harus menjadi salah satu agenda utama bagi tiap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berlaga di Pemilu tahun 2019 mendatang. Meski demikian, visi-misi yang dipaparkan masing-masing calon menunjukkan bahwa agenda pemberantasan korupsi tidak mendapat tempat utama.
“Kami meragukan komitmen antikorupsi para capres. Agenda pemberantasan korupsi terlihat sangat terpinggirkan baik bagi pasangan nomor urut satu maupun pasangan nomor urut dua,” tutur Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, Oce Madril.
Dalam jumpa pers yang digelar Senin (10/12), ia mempersoalkan agenda antikorupsi yang diusung kedua paslon yang menurutnya terasa hambar dan tidak menggambarkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan musuh bangsa. Perdebatan yang terjadi dalam kontestasi ini, ujar Oce, lebih banyak terjadi pada isu-isu yang kurang strategis.
“Terlihat ada keragu-raguan bagi Capres-Cawapres untuk memberantas korupsi secara tegas dan tanpa pandang bulu. Standar minimal kebijakan antikorupsi menurut UNCAC pun tidak dapat dipenuhi oleh program Capres-Cawapres,” terangnya.
Ia memaparkan, enam agenda antikorupsi yang diusung Capres Joko Widodo tidak jauh berbeda dengan janji politiknya pada Pemilu 2014 yang dalam realitanya tidak semua terimplementasi dengan baik. Ia menyoroti beberapa peristiwa seperti kriminalisasi sejumlah pimpinan KPK serta belum maksimalnya penegakan hukum di sektor-sektor strategis yang menunjukkan perhatian Presiden yang minim terhadap bidang penegakan hukum.
Sementara itu, agenda antikorupsi yang diusung pasangan Prabowo-Sandi menurutnya sangat minimalis karena hanya ada 2 program aksi dalam misi pemberantasan korupsi. Walaupun beberapa waktu yang lalu Prabowo memberikan kritik keras terhadap tingkat korupsi di Indonesia, tapi sayangnya kritik itu tidak diikuti dengan gagasan yang komprehensif dan tegas untuk mengatasi persoalan korupsi yang telah akut tersebut.
“Sulit untuk berbicara mengenai Prabowo dan Sandi karena agenda yang ditawarkan sangat minimalis sekali dan tidak jelas agenda itu diusung dengan cara yang bagaimana,” imbuhnya.
Para peneliti PUKAT pun menuntut agar kedua paslon lebih serius dalam mengusung pemberantasan korupsi dalam visi misi, karena upaya pemberantasan korupsi membutuhkan ketegasan dari para pemimpin politik.
“Kami ingin mendengar para calon berjanji untuk menjadi panglima yang memimpin pemberantasan korupsi ketika dia terpilih nanti. Masyarakat menunggu apa jawaban dari para capres, kalau perlu revisi besar-besaran visi misi yang sudah dibuat,” ucap Oce.
Selain mengkritisi agenda antikorupsi yang diusung calon pemimpin 5 tahun ke depan, dalam kesempatan yang sama, peneliti PUKAT Yuris Rezha memberikan catatan kritis mengenai pemberantasan korupsi era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, di antaranya berkaitan dengan belum dilaksanakannya janji penguatan kelembagaan KPK, belum optimalnya monitoring dan evaluasi program pencegahan, serta tidak berjalannya agenda strategis pendidikan antikorupsi.
Ia juga menyebutkan beberapa isu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi selama masa pemerintahan ini yang berpotensi akan kembali mendapat perhatian publik apabila tidak diberikan perhatian serius, misalnya terkait upaya pelemahan terhadap KPK, kasus mafia peradilan, serta pengusutan kasus penyerangan Novel Baswedan.
“Isu pelemahan KPK ini terjadi sebelumnya di pemerintahan SBY, dan ternyata berlanjut ke pemerintaha Jokowi-JK. Isu ini perlu diberi perhatian, jangan sampai ke depan terulang kembali,” kata Yuris. (Humas UGM/Gloria)