Berkaitan dengan cukup banyaknya berita mengenai rayapan tanah di berbagai wilayah Indonesia, terutama selama musim hujan ini, Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D mengemukakan bahwa rayapan tanah umumnya terjadi pada daerah kaki bukit atau lembah yang terdapat di antara perbukitan, karena kondisi batuan yang tersusun oleh lapisan serpih atau lempung. Serpih dan lempung tersebut mengandung mineral montmorillonite (smektite atau illite) yang sangat sensitive mengalami kehilangan kekuatan geser dan daya dukung apabila dalam kondisi jenuh air. Daerah yang mengalami rayapan tanah, sering merupakan daerah akumulasi air, karena letaknya yag berada di kaki bukit atau pada lembah di antara perbukitan. Proses penjenuhan oleh air terhadap lapisan lempung ini mengakibatkan lapisan lempung kehilangan kekuatan geser atau daya dukung, sehingga lapisan tersebut bergerak. Kasus serupa ini juga terjadi di beberapa ruas jalan yang ada di Jawa, misalnya di Grobogan, Ngawi, Padalarang, Cilto, dan Cipularang.
Menurut pakar Geologi UGM ini, kasus rayapan tentunya dapat ditangani dengan upaya rekayasa (namun sifatnya tidak dapat permanent). Upaya rekayasa ini harus diawali dengan penyelidikan geologi teknik untuk mendeliniasi zona yang rentan bergerak merayap serta menyelidikan kondisi morfologi di sekitar lokasi rayapan, sehingga dapat dilakukan analisa untuk memperhitungkan pengaruh morfologi terhadap drainase (aliran air permukaan dan bawah permukaan) yang mengontrol gerak rayapan tersebut. Jadi analisis atau evaluasi terhadap kondisi hidrogeologi ini perlu dilakukan untuk mendesain system drainase yang dikombunasik dengan system perkuatan dan penanaman vegetasi (bio-engineering system) di lokasi rayapan.
“Pada prinsipnya rekayasa tersebut harus mampu mengurangi atau meminimalisir proses penjenuhan oleh air pasda serpih atau lempung. Apabila dipilih rekayasa perkuatan, maka konstruksi perkuatan harus dibuat menembus lapisan batuan yang kuat yang berada di bawah lapisan lempung atau serpihâ€, kata Doktor lulusan UGM ini.
Namun dari berbagai kasus rayapan yang terjadi di Indonesia menunjukkan upaya mengendalikan rayapan ini sangat sulit berhasil secara permanent, kecuali apabila menerapkan teknologi dengan biaya yang tinggi, sehingga sering dirasa tidak ekonomis. Upaya rekayasa yang telah dilakukan di beberapa ruas jalan yang ambles atau bergerak, karena di bawah jalan tersebut terdalam lapisan tanah lunak (lempung atau serpih), dikhawatirkan sifatnya tidak dapat permanent, tidak tuntas mengatasi permasalan. Ibaratnya hanya akan memencet atau mengobati jerawat pada wajah dengan pergi ke salon, bukan mengobati penyebab utama jerawat tadi.
Lebih jauh Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM ini mengatakan, dengan belajar dari banyak kasus rayapan, kita tahu bahwa umumnya rayapan tersebut tidak akan langsung membunuh manusia, namun umumnya merusak bangunan-bangunan dan luas area yang merayap cukup luas, lebih dari beberapa hektar. Jadi meskipun tidak pernah menimbulkan korban manusia, namun sangat meruikan dari segi ekonomi dan kenyamanan tinggal, maka sebaiknya rumah-rumah hunian di lokasi rayapan direlokasi ke tempat yag lebih aman, yaitu ke daerah datar yang tidak mengandung serpih atau napal. Kenyataannya sudah banyak kasus di Indonesia menunjukkan upaya mengendalikan rayapan ini tidak pernah berhasil secara permanent, kecuali apabila menerapkan teknologi dengan biaya yang tinggi (tidak ekonomis).
“Yang lebih penting lagi, perlu dilakukan upaya penataan wilayah dengan lebih mempertimbangkan beberapa kendala geologi (seperti potesi rayapan, longor, dan banjir banding), serta didukung dengan penegakan hukum. Artinya, apabila telah ditetapkan suatu zona menjadi sempadan suangai atau sempaan lereng karena rawan rayapan, longsor atau banjir banding, maka hukum atau peraturan perijinan pendirian bangunan di zona sempadan tersebut harus ketatâ€, tandas bu Dwikorita. (Humas UGM)