
Banyak program televisi dan media sosial popular, seperti Instagram, Facebook, dan Youtube menjadi sarana bagi para pencinta kuliner untuk memublikasikan dan mendiskusikan seleranya. Hal itu membuat dunia kuliner kini menjadi marak digemari. Di balik maraknya pertumbuhan kuliner ini, ada hal yang menjadi perhatian, yakni gastronomi.
Hal itu seperti yang akan diungkapkan oleh Dewi Turgarini, salah satu wisudawan pascasarjana UGM pada Rabu (23/1) di Grha Sabha Pramana UGM. Menurutnya, terdapat hal mendasar pada fenomena kuliner ini objeknya adalah resep makanan dan subjeknya adalah pemasak. Persepsi yang muncul kemudian adalah kuliner lebih dekat pada mengolah resep menjadi makanan oleh pemasak, tidak ada kaitannya dengan konsumen sama sekali.
“Kegiatan konsumen untuk mencicipi, meneliti, memahami atau mencari pengalaman dengan mengonsumsi makanan hilang dalam budaya kuliner. Namun sebaliknya, hal itu menjadi penting dalam gastronomi,” jelasnya. Hal inilah yang menjadi latar belakang Dewi mengambil Program Doktor Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM.
Ketertarikan Dewi mulai muncul sejak ia mengajar S1 Manajemen Industri Katering Universitas Pendidikan Indonesia. Kemudian, ketika ia bekerja sebagai konsultan pada bidang gastronomi membuatnya menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa digali secara keilmuan. Berdasarkan pengamatannya menggarap penelitian di 30 Kota Indonesia tentang pariwisata dan gastronomi, ia merasa perlu adanya penelitian yang komprehensif dalam bidang ini. “Khususnya di Kota Bandung, tempat kelahiran saya” tuturnya.
Ibu kota Provinsi Jawa Barat tersebut, menurutnya, memilki khasanah gastronomi yang elegan. Hal itu karena di sana terdapat beragam makanan khas Sunda yang lezat, lengkap dengan cara pengolahan dan penyajiannya. Ia beranggapan bahwa Gastronomi Sunda di Kota Bandung memiliki atmosfer, daya tarik, dan foodscape yang berbeda dengan daerah lain. Karakteristik tersebut muncul dari hasil interaksi, dan akulturasi budaya yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Oleh karena itu, Dewi mengangkat topik Gastronomi Sunda di Bandung dalam disertasinya. Tujuannya adalah untuk mengangkat daya tarik kota itu yang belum optimal sehingga menjadi atraksi wisata yang dapat diburu oleh pelancong.
“Selama ini Bandung hanya menekankan pada makanan yang dijadikan sebagai sumber pasokan kebutuhan fisik manusia saja. Padahal, sangatlah menarik jika dilakukan kajian terhadap Gastronomi Sunda beserta foodscape-nya, untuk mendukung gastro-city dan wisata-gastronominya,” ujarnya.
Secara holistik novelty, penelitian Dewi ini menunjukkan Gastronomi Sunda sebagai wujud budaya yang berfungsi menjadi daya tarik wisata Kota Bandung sekaligus ruang memori atau collective memory. Namun demikian, Kota Bandung itu sendiri merupakan foodscape besar yang terkait dengan foodshed di wilayah sekitarnya. Kemudian temuan selanjutnya adalah prioritas pengembangan gastronomi Sunda sebagai pendukung wisata gastronomi di Kota Bandung adalah Simping, Peuyem Sampeu, dan Surabi.
“Saya pada dasarnya masih merasa harus menggali lebih banyak lagi tentang wisata gastronomi. Namun, keterbatasan waktu dan juga sarana pendukung sebagai peneliti membuat saya harus mengatur strategi kembali agar dapat secara bertahap dilakukan penelitian lanjutan. Saya juga masih harus banyak berguru kepada para pelestari gastronomi Sunda dan di nusantara di masa mendatang. Terus terang semakin lama saya merasa banyak tidak tahunya”, pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)