Perhatian dan upaya pengembangan wirausaha dan kewirausahaan makin meningkat. Hal ini ditandai oleh meningkatnya penelitian dan jumlah institusi pendidikan yang menawarkan program kewirausahaan. Pusat pengembangan kewirausahaan pun semakin bertambah jumlahnya.
Seiring dengan itu, Sekolah Pascasarjana UGM bersama Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial-Humaniora (KNAW-AIPI) menggelar ajang Seminar bertajuk Membangun Kewirausahaan Sosial: Meruntuhkan dan Menciptakan Sistim Secara Kreatif, di Lantai V Sekolah Pascasarjana UGM, belum lama ini. Seminar menghadirkan pembicara Dr. Vincentius Winarto, dengan diisi pemutaran film Lelakone Menur.
Menurut Winarto, sebagai bidang yang baru berkembang, terdapat sejumlah pendapat yang tidak seragam tentang apa itu kewirausahaan sosial dan siapa yang disebut wirausaha sosial.
Pendapat atau rumusan tentang wirausaha sosial, katanya, cenderung menggambarkan suatu jenis wirausaha yang unggul, memiliki peran dan suatu kegiatan yang berkarakteristik. Berdasar temuan dipelbagai jenis wirausaha bisnis, sejumlah jenis wirausaha sosial dimungkinkan pula bisa ditemukan.
Menyitir, Ashoka Fellows, yang didirikan Bill Drayton (1980) disebutkan tugas wirausaha sosial adalah mengenali adanya kemacetan atau kemandegan dalam kehidupan masyarakat dan menyediakan jalan keluar dari kemacetan itu. Ia menemukan apa yang tidak berfungsi, memecahkan masalah dengan mengubah sistimnya, menyebarluaskan pemecahannya, serta meyakinkan masyarakat untuk berani melakukan perubahan. Selain itu, wirausaha sosial tidak puas hanya memberi “ikan†atau mengajarkan cara “memancing ikanâ€. Ia tidak akan diam hingga “industri perikanan†pun berubah.
“Kasus bagaimana Mohammad Yunus mengembangkan bank untuk melayani kaum miskin, merupakan inovasi yang bertentangan dengan kaidah umum. Karena biasanya pasar bank mentarget pada mereka yang mampu dan beresiko kecil. Kemacetan akses dana yang dihadapi kaum miskin dipecahkan dengan penyediaan sistim kredit mikro yang ditujukan pada mereka secara berkelompok,†ujar Winarto.
Atau seperti di film Lakone Menur, yang mengisahkan kreativitas dan daya cipta sejumlah ibu-ibu petani di desa Wareng, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul. Yaitu kisah tentang kemampuan kelompok dalam melakukan kegiatan bercocok tanam secara kolektif di sebidang lahan yang disewa secara bersama. Bahwa, dengan melaksanakan strategi cocok tanam yang ramah lingkungan, serta menghidupkan kembali ‘lumbung padi’, mereka berupaya mengakomodasi berbagai kebutuhan anggotanya.
“Ini merupakan prestasi yang patut dihargai di era pertanian di Indonesia masa kini, yang masih secara kuat dilandasi oleh paradigma Revolusi Hijau,†ujarnya lagi. (Humas UGM).