Istilah empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang digunakan oleh MPR RI telah mengacaukan struktur dan logika bahasa karena secara struktur dan logika bahasa, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika memiliki kedudukan dan fungsi yang berbeda sehingga keempat hal tersebut tidak dapat disejajarkan. Selain bermasalah secara semantik, penggunaan istilah empat pilar sebagai bahasa politik untuk nama program kegiatan sosialisasi ini ditengarai telah menimbulkan perdebatan di masyarakat serta mengaburkan makna yang sesungguhnya akan bahasa dan simbol pengertian dan hakikat dari Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika yang sebenarnya. Hal itu dikemukakan mahasiswa doktoral Fakultas Filsafat UGM Hastangka, S. Fil., M.Phil., dalam pemaparan hasil penelitian disertasinya pada ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Filsafat UGM, Kamis (24/1).
Dalam disertasinya yang berjudul Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ditinjau dari Perspektif Filsafat Bahasa dan Implikasi Teoritis Terhadap Pemahaman Pancasila, Hastangka menyampaikan bahwa dasar argumen MPR RI menggunakan istilah empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkenalkan kembali Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinekka Tunggal Ika yang dianggap luntur sejak pasca reformasi. Namun, tata hubungan yang dibangun MPR RI, menurut Hastangka, tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks relasi historis, yuridis dan filosofis. “Istilah empat pilar telah mengacaukan dan mendelegitimasi tata hubungan hakikat dan makna istilah Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dabn bernegara,” katanya.
Ia menambahkan, penggunakan istilah empat pilar dari aspek struktur dan logikas bahasa memiliki kesalahan kategoris dan kesalahan logika sehingga menimbulkan kerancuan dan sesat pikir berupa pergantian makna dan penyimpangan makna. “Istilah tersebut berimplikasi secara teoretis mengubah pemahaman tentang Pancasila menjadi membingungkan,”katanya.
Menurutnya, politisasi terhadap bahasa oleh penguasa dalam hal ini MPRI RI dalam memahami penggunaan bahasa, simbol, pemaksaan pemaknaan suatu istilah dalam bahasa tidak sesuai dengan kebahasaan yang benar berisiko berdampak pada pemahaman yang keliru dalam memahami pengertian dan karakteritik bahasa itu sendiri. “Politisasi atas bahasa telah menyebabkan persoalan legitimasi makna atas bahasa yang berpotensi menyesatkan,” ujarnya.
Kegagalan elit politik merumuskan bahasa dalam proses penciptaan realitas, makna dan simbol bahkan akan berdampak pada kegagalan dalam proses pemaknaan dan pemahaman tentang makna atau hakikat bahasa itu sendiri.
Ia menyimpulkan problem saat ini para elit politik atau penguasa yang memiliki kecenderungan berubah-ubah dalam menggunakan dan menginterpretasikan bahasa yang tidak berdasarkan pada filosofi dan dasar filsafat bahasa yang benar untuk menalar negara sehingga akan berpotensi menyesatkan pemahaman masyarakat tentang makna dan filosofi negaranya.
Seperti diketahui, empat pilar berbangsa dan bernegara digunakan oleh MPR RI untuk program sosialisasi pada era kepemimpinan Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR RI masa jabatan 2009-2014. Selanjutnya, istilah ini dilegitimasi melalui peraturan perundang-undangan, yakni UU No 2 tahun 2011. Hingga saat ini penggunaan sosialisasi empat pilar kebangsaan masih dilaksanakan oleh MPR RI. (Humas UGM/Gusti Grehenson)