
Dosen dan Peneliti Ekohidraulik, Sungai, Banjir dan Lingkungan, UGM, Dr. Ing. Agus Maryono, mengingatkan bahaya banjir bandang yang mungkin terjadi saat memasuki musim penghujan kali ini. Peringatan ini terutama untuk masyarakat yang tinggal di daerah tekuk perbukitan.
Agus mengingatkan soal ini bukan tanpa alasan, sebab di tahun-tahun sebelumnya banjir jenis ini telah menghantam dan membawa korban besar di Indonesia. Mulai dari Pacet-Mojokerto di Jawa Timur 2002, Bahorok 2003 dan Kutacane 2004 di Sumatra Utara, Jember 2005 di Jawa Timur, Sinjai 2006 di Sulawesi Selatan dan Gorontalo 2006 di Sulawesi Utara. Menyusul Aceh Langkat 2007, Poliwali Mandar Sulawesai 2009, Banjir bandang Wasior Papua, 2010, banjir Bandang di Tangse, Pidie Aceh, 2011, Banjir Bandang di Padang, Sumbar 2012, Banjir Bandang Ambon, Maluku 2013, banjir bandang di Menado Sulut, 2014 dan Banjir Bandang di Sukolilo Pati, Jateng 2015.
“Kemungkinan masih terjadi karena ada potensi untuk itu dan masyarakat masih bingung dan bertanya-tanya soal apa yang disebut banjir bandang ini, penyebab dan kemungkinan antisipasinya,” ucap Agus Maryono, di ruang rapat HMP UGM, Kamis (24/1) saat berlangsung jumpa pers persoalan banjir di Indonesia.
Agus menjelaskan secara umum banjir dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu banjir kecil, sedang dan banjir besar. Banjir kecil biasa ditandai dengan genangan-genangan air hujan (run off) di berbagai tempat, banjir menengah ditandai dengan meluapnya sungai dan menggenangi daerah-daerah bantaran sungai serta persawahan dan pemukiman, dan banjir besar yang menerjang kawasan yang cukup luas ditandai dengan tenggelam dan rusaknya berbagai fasilitas umum, pemukiman dan jembatan, jebolnya tanggul-tanggul pengaman serta terputusnya jalan-jalan utama.
Selain itu, dia menyebut pula berdasarkan ukuran debit banjir dan probabilitas statistik terjadinya maka banjir juga dapat diklasifikasikan menjadi banjir dengan berbagai kala ulang, misal banjir 10 tahunan, banjir 50 tahunan dan seterusnya sampai banjir 1.000 dan 10.000 tahunan. Semakin besar kala ulang banjir semakin tinggi debit dan muka air banjirnya, namun juga semakin jarang probabilitas kejadiannya.
“Jadi, pada dasarnya sebutan banjir 100 tahunan atau 1.000 tahunan hanya untuk membedakan besar-kecilnya banjir yang didasarkan pada analisis statistik hidrologi,” jelasnya.
Selain klasifikasi di atas, menurut Agus, banjir dapat juga dibedakan berdasar durasi waktu berlangsungnya. Banjir dapat berlangsung relatif lama, seperti yang terjadi di Jakarta, Jambi, Pontianak, Banjarmasin dalam beberapa tahun terakhir ini. Sungai meluap, ditambah hujan lokal akan menggenangi wilayah yang dilalui sungai, muka air naik secara perlahan-lahan hingga mencapai puncak banjir kemudian surut secara gradual. Banjir ini merupakan banjir yang lazim terjadi dan dapat disebut banjir run off normal.
“Sedang banjir yang berlangsung cepat dengan kisaran waktu terjang relatif pendek dengan debit puncak yang ekstrim tinggi, membawa lumpur, pasir, batu batuan, kayu-kayu dan berbagai elemen menerjang ke hilir dengan dahsyat, kemudian air kembali surut relatif cepat adalah yang disebut dengan banjir bandang. Banjir bandang inilah yang biasanya banyak menelan korban jiwa dan harta benda karena dengan waktu yang singkat dan debit banjir yang ekstrim sehingga masyarakat tidak sempat menyelamatkan diri,” ucapnya.
Agus juga menyatakan terdapat juga perpaduan antara banjir bandang dan banjir run off normal. Banjir bandang terjadi di daerah hulu. Air bah banjir bandang mengalir menuju hilir bertemu dengan banjir akibat run off biasa di bagian tengah dan hilir maka terjadi banjir besar yang menggenangi area yang cukup luas.
Agus menyebut sedikitnya ada enam faktor penyebab banjir bandang, yaitu hujan ekstrim, tipologi DAS “spon”, jebolnya pembendungan akibat sisa-sisa vegetasi dan longsoran, pertemuan dua puncak banjir, jebolnya bendungan atau tanggul dan kembalinya alur sungai sudetan ke alur semula. Ke enam sebab tersebut dapat menjadi penyebab banjir bandang secara terpisah maupun saling berasosiasi memperparah terjadinya banjir bandang.
“Sedang banjir normal dengan durasi banjir lama umumnya disebabkan oleh hujan deras tanpa pembendungan dan kondisi DAS yang gundul,” katanya.
Mengingat penyebab banjir bandang cukup beragam maka sangat mendesak untuk dilakukan usaha-usaha pencegahan secara menyeluruh. Usaha preventif harus dilakukan untuk menghindarkan korban dari bencana ini.
Sebab, di saat banjir terjadi sangat sulit dilakukan upaya pencegahan. Oleh karena itu, di saat pasca banjir, perlu rekonstruksi dengan konsep jangka panjang, merelokasi pemukiman-pemukiman di sepajang bantaran sungai, menata DAS dan reboisasi serta memahami karakter tiap-tiap sungai vital yanga ada.
“Pemerintah bersama masyarakat perlu terus melakukan pembangunan embung-embung di desa-desa, menggalakkan gerakan memanen air hujan dan melakukan restorasi sungai. Seperti di Jogja ini yang memiliki ribuan pelajar dan mahasiswa, andai saja satu pelajar atau mahasiswa menanam satu pohon tentu sebagai usaha yang baik untuk pencegahan,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung;foto: Firsto)