Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Friderica Widyasari Dewi, meraih gelar doktor di Prodi Ilmu Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan, Sekolah Pascasarjana UGM.
Wanita berusia 43 tahun ini lulus dengan predikat cum laude usai mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka pada Sabtu (26/1) di Auditorium Sekolah Pascasarjana.
“Selamat kepada Saudari Friderica, semoga ilmu dan juga gelar yang didapat bisa bermanfaat untuk karier ke depan,” tutur guru besar FEB UGM, Prof. Dr. Eduardus Tandelilin, M.B.A, selaku promotor.
Disertasi yang membawa Friderica meraih gelar ini berjudul “Analisis Dampak Struktur Kepemilikan terhadap Nilai Perusahaan dan Risiko pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia”.
Penelitian ini, ujarnya, dimotivasi oleh fakta bahwa perkembangan pasar modal di Indonesia walaupun telah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, namun masih jauh dari tingkat kedalaman dan pemenuhan kebutuhan pendanaan yang mampu mendukung kebutuhan pembangunan di Indonesia.
Selain kedalaman pasar modal, tingkat partisipasi investor domestik dibandingkan total jumlah penduduk Indonesia pun masih sangat kecil, yakni kurang dari satu persen.
“Angka ini masih tertinggal dibanding negara-negara lain di kawasan Asia,” tutur Friderica.
Dengan menggunakan data perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI selama tahun 2011-2015 dan alat analisis yang robust, penelitian ini secara empiris menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsentrasi kepemilikan perusahaan pada satu pihak tertentu dengan nilai perusahaan.
“Artinya, argumen ekspropriasi oleh pemilik mayoritas dibuktikan dalam penelitian ini, bahwa semakin besar hak kendali perusahaan atau hak voting pada suatu pihak tertentu akan memperbesar risiko ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas,” jelas mantan Dirut PT BEI ini.
Namun demikian, konsentrasi kepemilikan tidak terbukti memengaruhi risiko perusahaan.
Terkait dengan identitas pengendali perusahaan, penelitian yang ia lakukan membuktikan bahwa identitas pemilik pengendali memiliki pengaruh yang berbeda terhadap nilai dan risiko perusahaan.
“Misalnya, perusahaan yang dikendalikan pemerintah cenderung memiliki kinerja yang lebih baik dibanding perusahaan yang dikendalikan oleh non-pemerintah,” terangnya.
Ia pun menyarankan agar dilakukan peningkatan kualitas tata kelola perusahaan untuk mengurangi kesenjangan informasi antara pemegang saham mayoritas dan minoritas, khususnya keterbukaan informasi mengenai struktur kepemilikan dan kepemilikan ultimatnya, serta kebijakan yang melindungi investor minoritas.
Penelitian ini, tambahnya, juga menyediakan bukti relevansi dikeluarkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 7,8, dan 11 Tahun 2017 yang mewajibkan perusahaan untuk melaporkan kepemilikan baik langsung maupun tak langsung.
Karena itu, menurutnya, laporan kepemilikan ultimat tersebut hendaknya tidak hanya untuk OJK, namun juga untuk publik, yaitu dengan melaporkannya dalam situs web perusahaan laporan berkala, dan laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh kantor akuntan publik.
“Hal ini untuk memudahkan investor menemukan informasi kepemilikan perusahaan. Kemudian, yang tidak kalah penting adalah penegakan peraturan tersebut secara tegas oleh regulator,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)