Menteri Perindustrian, Ir. Airlangga Hartarto, M.B.A., M.M.T., didampingi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Prof. H. Mohamad Nasir, Ak, Ph.D, Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., dan Bupati Batang, H. Wihaji, S.Ag., M.Pd, meresmikan secara bersama berdirinya Pusat Pengembangan Kompetensi Industri Pengolahan Kakao Terpadu (PPKIPKT) di Desa Wonokerso, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, Senin (11/2). Peresmian pabrik pengolahan biji kakao siap konsumsi ini ditandai dengan menekan tombol sirine dan pemotongan pita serta dilanjutkan dengan peninjauan bersama ke lokasi pabrik.
Hadirnya pabrik kakao di Kabupaten Batang ini merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Perindustrian, Kemenristekdikti, UGM, dan Pemkab Batang yang digadang-gadang menjadi ikon baru Kabupaten Batang. PPKIPKT yang memiliki sejumlah fasilitas ini diharapkan berfungsi sebagai pabrik sekaligus tempat penelitian yang dijalankan oleh perusahaan milik UGM di bidang perkebunan, PT Pagilaran.
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, mengatakan berdirinya PPKIPKT ini sebagai upaya pemerintah yang menginginkan universitas masuk ke bidang industrialisasi. Sebab, untuk mengantar bangsa ini masuk ke dalam revolusi industri 4.0 maka perguruan tinggi harus masuk ke industri terlebih dahulu.
“Dengan masuk industri maka meningkatkan menjadi 4.0 akan menjadi mudah. Dalam program Kementerian Perindustrian yang disebut revolusi industri 4.0 sektor unggulan itu adalah makanan dan minuman, salah satunya adalah kopi, coklat, nanas dan lain-lain,” katanya.
Menperin menandaskan sebagai penghasil kakao no 3 dunia Indonesia tidak boleh puas hanya sebagai supplier kakao. Industri dalam negeri diharapkan mampu merubahnya menjadi produk akhir.
“Di Indonesia pengolahan kakao untuk ekspor dari bahan baku sampai barang jadi, semua diekspor. Saat ini yang paling penting adalah meningkatkan di bagian produksi,” katanya.
Menristekdikti, Mohammad Nasir, mengatakan tugas pengembangan kakao di kementriannya adalah urusan di upstream atau di hulunya, yaitu harus menyediakan bibit berkualitas. Pengembangan bibit ini penting karena bisa menghasilkan kakao terbaik.
Sebab, sesuai Peraturan Presiden Nomer 36 tahun 2018 telah dituangkan Rencana Induk Nasional yang di dalamnya terdapat 10 bidang yang harus diselesaikan di Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, diantaranya menyiapkan Rancangan Undang-Undang yang terkait sistem inovasi nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang nantinya akan memayungi semua riset yang ada di Indonesia. Ke sepuluh bidang tersebut diantaranya bidang pangan dan pertanian.
“Khusus bicara soal pertanian, mungkin di dalamnya termasuk kakao ini,” katanya.
Moh Natsir mengatakan menyediakan bibit berkualitas masih menjadi masalah hingga kini karena 1 hektare hanya menghasilkan 1 ton kakao. Sementara di Vietnam 1 hektare bisa menghasilkan 4 ton lebih kakao.
“Seperti riset di Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, bersama-sama Puslitkoka, Pusat penelitian kopi dan kakao di Jember, satu hektarnya bisa menghasilkan 3,5 ton. Ini harus kita lihat, kita harus berkolaborasi, apa yang harus dilakukan karena pengembangan bibit ini menjadi sangat penting untuk menghasilkan kualitas coklat yang baik,”katanya.
Rektor UGM, Panut Mulyono, menambahkan fasilitas teaching indutri ini memiliki peran penting mengingat kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia di mata dunia. Permintaan kakao saat ini meningkat seiring dengan kenaikan konsumsi di tiga negara, yaitu Indonesia, India dan Cina.
Prediksi pertumbuhan kakao dunia ini akan meningkat 4 juta ton per tahun sesuai data The International Cocoa Organization. Peluang ini merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengungguli posisi Belanda dan Jerman sebagai produsen kakao olahan di dunia saat ini, meskipun pada faktanya dua negara tersebut bukanlah negara produsen biji kakao atau buah kakao.
“Satu hal yang istimewa dan membanggakan kita adalah bahwa industri pengolahan kakao ini berdiri di tengah-tengah perkebunan kakao inti yang dikelola oleh PT. Pagilaran sebagai unit usaha milik Universitas Gadjah Mada. Kebun ini seluas sekitar 165 hektar dan barangkali hal ini yang pertama di Indonesia,” imbuhnya.
Bupati Batang, Wihaji, mengatakan berdirinya pabrik ini menjadi ikon baru di Kabupaten Batang karena pabrik ini tidak hanya untuk industri melainkan juga bisa dimanfaatkan untuk wisata.
“Saya meminta pihak pabrik untuk bisa membina desa sekitar pabrik agar menjadi kampung coklat. Biar sejalan dengan program kami dalam menciptakan 1.000 wirausaha baru, dengan slogan one village one product atau satu desa satu produk usaha,” pintanya.
Ia berharap berdirinya PPKIPKT menjadi salah satu penyumbang percepatan pembangunan daerah, bidang investasi, wisata dan Indek Pembangunan Manusia. “Ini sesuai intruksi Presiden terkait percepatan daerah melalui investasi dan pariwisata dan saya yakin pabrik kakao yang dikelola UGM pasti bisa,” harapnya. (Humas UGM/ Agung; foto: Firsto)