Tim Peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyampaikan sebuah riset soal politisasi agama dalam pembentukan berbagai peraturan hukum yang ada di daerah hingga tingkat nasional. Meski peraturan yang dibuat tersebut mengatur kebijakan soal moralitas dan agama, namun aturan yang mengandung unsur politisasi agama tersebut meningkat dari tahun ke tahun. “Sejak 2017 lalu ada 471 peraturan hukum,” kata Sri Wiyanti Eddyono, Ph.D., salah satu anggota peneliti, saat memaparkan peneilitiannya pada Seminar Nasional yang bertajuk “Hukum dan Gagasan Kebangsaan Indonesia dalam rangka Pusaran Politik Identitas” di ruang seminar Hotel University Club UGM, Senin ( 18/2).
Ia menyebutkan, sejak kurun waktu 1999-2004 sebanyak 56 peraturan yang dianggap hasil politisasi agama, lalu tahun tahun 2010 ada 156 aturan dan meningkat menjadi 471 peraturan sejak 2017 lalu.
Menurutnya, kecenderungan menguatnya politisasi agama disebabkan diakomodasi oleh negara melalui ruang demokrasi. Oleh karena itu, politisasi agama yang dilakukan oleh para politisi, kepala daerah dan kelompok ormas untuk menggapai posisi tertentu sehingga memasukkan aturan dalam konteks agama dalam tatanan negara. “Pola yang mereka lakukan dengan mengancam bahwa yang tidak menuruti ajakan tersebut dianggap melawan ajaran agama,” katanya.
Politisasi agama tidak hanya muncul dalam peraturan hukum saja, namun juga dalam praktik kehidupan bermasyarakat sehari hari seperti sikap intoleransi dan kekerasan verbal dan fisik juga dilakukan. Bahkan, di ruang peradilan, tidak jarang hakim banyak memutuskan perkara berbagai kasus penodaan agama. “Dalam konteks nasional, ada 97 putusan kasus penodaan agama di pengadilan negeri,” katanya.
Penelitian yang dilakukan sejak 2006 lalu itu dilaksanakan pengamatan di berbagai kota di Indonesia soal intoleransi, kasus penodaan agama serta peraturan berbasis syariah. Penelitian di lakukan di Padang, DKI, Medan, Cirebon, Klaten, Depok, Yogyakarta, melalui metode wawancara dan observasi. Dari temuan tim mereka, terdapat aturan yang bertentangan dengan Pancasila yang mengatasnamakan ajaran agama seperti di Jogja terdapat temuan di SMP negeri ada pemaksaan jilbab ke siswa beragama Islam. Selanjutnya di Medan, ditemukan menguatnya sikap primordialisme berbasis kampus, pembakaran vihara, dan 20 kasus penodaan agama. Lalu di Cirebon ditemukan pengotakan kelompok berbasis aturan agama, dan penyebaran ideologi radikalisme di kalangan anak muda dan anak TK.
Seminar dalam rangka Dies Natalis Fakultas Hukum UGM ke-73 menghadirkan pembicara lainnya, yakni Prof. Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga, Drs. Yudi Latif MA PhD., dan Dr. Rikardo Simarmata dari FH UGM. Yudi Latif mengatakan banyak negara di dunia tidak sepenuhnya menerapkan nation state atau negara kebangsaan, namun satu-satunya negara besar melakukan itu hanya Indonesia sejak berdirinya adalah bangsa Indonesia melalui Pancasila. “Cara pancasila menyelesaikan problematik melalui kesetaraan warga negara di hadapan hukum,” katanya
Ia menuturkan, tidak semua golongan diakomodasi karena itu melanggar prinsip kesetaraan, sebaliknya negara Pancasila melindungi agama, suku, ras, dan budaya yang minoritas dan marginal. “Ada saat partikularitas tidak selesai dengam cara universalitas, ada perlindungan hak budaya tertentu, Pancasila menyiapkan ruang budaya itu, namun demi keadilan muncullah hukum bersama, meski banyak inspirasi agama yang kadang ditolak dalam pembentukan sebuah undang-undang,” katanya
Rikardo Simarmata, mengatakan politisasi identitas primordial umumnya potensial mengusik sendi-sendi hukum. Sebab, politik identitas ini menyangkal adanya hubungan tak terpisahkan hukum dengan kepentingan yang beragam, “Sistem hukum kita saat ini ditantang untuk menjangkau kehidupan yang beradab,” katanya.
Kasus hukum yang dikelilingi politik identitas ini sering menyebabkan hakim tidak mampu memberikan putusan yang tepat dan memberikan rasa keadilan sosial dengan dilandasi nilai kemanusiaan.“ Di berbagai kasus, hakim tidak lagi memandang bukti yang disampaikan di pengadilan,” katanya.
Sementara Prof. Amin Abdullah menuturkan era kebebasan berpendapat pasca reformasi memunculkan sikap eksklusifisme, adanya sikap tidak toleran pada orang lain, inklusifisme menganggap dirinya lebih baik dari yang lain, serta munculnya sikap pluralisme dalam konsep modern karena memandang semua manusia sederajat, sama di mata hukum, etnis, dan gender. Menurutnya, Indonesia sangat beruntung Pancasila sebagai panduan agar kita bisa hidup harmonis dalam pluralisme dan keragaman. “Itulah modal sosial kultural Indonesia yang sangat luar biasa,” ujarnya.
Soal menguatnya politisasi agama yang berdampak pada eksklusifisme dan inklusifisme seharusnya menjadi perhatian negara dan semua pihak termasuk kalangan perguruan tinggi. “Perguruan tinggi harus duduk bersama untuk memecahkan persoalan ini, apalagi sudah banyak kampus yang terpapar radikalisme,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)