
Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM menyelenggarakan peluncuran buku “Strategi Memenangkan Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi” pada Jumat (15/2) di Ruang III.1-1 Fakultas Hukum UGM. Buku tersebut merupakan salah satu karya pendiri sekaligus mantan ketua PUKAT UGM periode 2005-2008, yakni Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
Sebagai pembedah buku, hadir pula Zainal Arifin Mochtar (Ketua PUKAT), Oce Madril (DIrektur Advokasi PUKAT), serta Iwan Satriawan (Dosen Fakultas Hukum UMY). Sementara sebagai moderator pada diskusi tersebut hadir Hasrul Halili (Direktur Eksekutif PUKAT).
Denny dalam paparannya menyebut bahwa pembuatan buku ini ia niatkan sejak awal sesuai judulnya, yakni sebuah panduan untuk memenangkan sengketa hasil Pemilu di MK. Pendekatan teori yang ia pakai meliputi empat hal, yakni melalui teori, putusan peradilan, peraturan perundang-undangan, serta komparasi.
Dalam bukunya, Denny memandang bahwa permasalahan hukum di Indonesia adalah integritas dari lembaga penegak hukum itu sendiri. Ia menceritakan ketika tahun 2014, kala itu sengketa hasil Pemilu banyak terjadi, dan untungnya masalah tersebut berhasil diatasi. Hal tu karena posisi MK kala itu dianggap masih memiliki integritas.
“Lembaga pemerintah, khususnya MK, kala itu bisa dianggap lebih netral karena tidak adanya paslon yang telah berkuasa pada periode tepat sebelumnya yang dianggap bisa memanfaatkan kuasanya. Selain itu, para Hakim MK kala itu juga belum ada yang terjerat kasus hukum seperti sekarang. Jadi masyarakat kala itu masih mempercayai integritas dari MK,” ungkapnya.
Dari permasalahan itu, Denny menyadari bahwa MK adalah kuncinya untuk melancarkan jalannya Pemilu mendatang. Ia mengkhawatirkan model pemilihan Hakim MK sekarang yang melalui DPR. “Hal itu ditakutkan akan adanya kecenderungan politik dalam pemilihannya,” sebutnya.
Oleh karenanya, Denny menuliskan dalam bukunya untuk memperoleh kemenangan secara terhormat. Pesan tersebut, menurutnya, memang terkesan klise dan idealis. Namun, hal itu penting, baik bagi para calon legislatif dan eksekutif maupun bagi para pengacara mereka. “Sebab alasan itu saya membuat buku ini sebagai panduan efektif bagi mereka yang akan maju pada Pemilu tahun ini,” ujarnya.
Oce menambahkan bahwa untuk Pemilu 2019 ini diprediksi sengketa tersebut akan kian bertambah dibanding dengan Pemilu sebelumnya. Hal itu ia dasarkan dengan fakta bahwa partai peserta Pemilu tahuni ini lebih banyak, dan daerah pemilihannya pun juga bertambah. Ia menekankan kembali bahwa kali ini integritas MK akan diuji. “MK perlu mempersiapkan matang-matang untuk menghadapi Pemilu mendatang. Semoga tidak tergoda dengan bujuk rayu politik,” harapnya.
Hal tersebut diafirmasi oleh Iwan. Menurutnya, wasit yang tepat untuk pemilu ini adalah yang menjalankan tugasnya sebagai lembaga yudikatif. Artinya, lembaga tersebut harus terjaga netralitasnya. “Tentunya bukan hasil dari persekongkolan,” ucapnya.
Lebih lanjut, selain konten dari buku tersebut yang memang dinilainya penting untuk diangkat, Iwan juga mengapresasi gaya penulisannya. Ia menyebut bahwa buku tersebut mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Hal itu, karena penulis buku ini merupakan seorang profesor yang beralih menjadi advokat, namun tidak meninggalkan karakter akademisnya.
“Selama ini pekerjaan advokat dianggap tidak berkaitan dengan riset yang identik dengan pekerjaan akademisi. Padahal, advokat tidak bisa dihindarkan untuk melakukan riset untuk menemukan dan memahami substansi kasus yang diperkarakan. Jika tidak bagaimana ia bisa mengedukasi dan mengadvokasi kliennya,” tuturnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Zainal. Ia menyebut bahasa yang digunakan dalam buku ini mudah untuk dipahami sebagai sebuah panduan. Ia memuji penulis karena tidak berbicara tentang positioning, melainkan lebih kepada etalase yang mengantarkan pembacanya untuk lebih memahami isi dari buku.
Terakhir, Zainal berpendapat bahwa kekurangan buku ini hanya terletak pada beberapa hal yang belum dijelaskan lebih lanjut. Namun, hal tersebut dimakluminya mengingat periode penulisannya yang memang singkat, yakni kurang lebih satu bulan.
“Buku yang baik adalah yang ditulis dan selesai. Hal tersebut sudah cukup menggambarkan apresiasi saya kepada penulis atas usahanya untuk tetap berkarya menambah khasanah keilmuan,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)