Ide “NKRI Bersyariah” ramai dibicarakan dalam beberapa waktu belakangan, dan kerap digunakan sebagai bagian dari strategi politik yang memanfaatkan sentimen Islam menjelang Pemilu 2019.
Hal ini, menurut Dosen Senior di Fakultas Hukum Universitas Monash, Nadirsyah Hosen, berpotensi menciptakan ketidakstabilan politik di Indonesia.
“Politisasi agama, seperti yang telah kita lihat baru-baru ini di Indonesia, akan menciptakan ketidakstabilan politik,” tuturnya.
Pemanfaatan sentimen agama dalam kontestasi politik di antaranya tampak pada aktivitas kampanye yang menyerang kepercayaan lawan politik atau menyebarkan pidato kebencian dan ancaman berbau agama melalui khotbah para pemuka agama.
Pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-73 Fakultas Hukum UGM, Nadirsyah menyampaikan orasi ilmiah berjudul Gagasan “NKRI Bersyariah” Interaksi antara Demokrasi, Hukum, Shari’ah dan Kebangsaan.
Ia mencatat, reformasi yang terjadi tahun 1998 membuka peluang bagi beberapa kelompok muslim dan partai politik untuk mengusulkan pengenalan syariah ke dalam konstitusi dengan meminta perubahan pada Pasal 29 UUD 1945 yang akan memberikan dasar untuk praktik syariah bagi umat Islam. Beberapa kelompok bahkan melangkah lebih jauh dengan mengusulkan bahwa Indonesia menjadi negara Islam.
“Meskipun kelompok-kelompok itu memiliki perbedaan pendapat, strategi, dan tujuan, mereka memiliki pandangan yang sama, bahwa syariah harus berkontribusi pada reformasi konstitusi di Indonesia,” jelas Nadirsyah.
Meski sejarah memperlihatkan bahwa pendekatan formalisasi syariah telah gagal memengaruhi proses reformasi konstitusional, namun gerakan-gerakan untuk mengusung model semacam ini masih hidup hingga saat ini.
Akademisi yang dikenal secara internasional karena keahliannya dalam Hukum Indonesia dan Syariah ini memaparkan, Indonesia sebenarnya telah mengakomodasi hukum syariah dengan menyediakan administrasi urusan muslim, misalnya dalam hal hukum keluarga, amal, makanan halal, ziarah, serta perbankan Islam. Meski demikian, hal itu dirasa tidak cukup bagi beberapa kelompok muslim.
“Sementara mereka mengklaim menerima kenyataan bahwa NKRI bukan negara Islam, tetapi mereka juga mengusulkan untuk berdirinya “NKRI Bersyariah”,” terangnya.
Ia menyebut gagasan “NKRI Bersyariah” sebagai sebuah jargon politik karena negara sebenarnya telah mengakomodasi syariah. Ada ruang untuk agama di ruang publik, tetapi ada juga keterbatasan di saat yang sama.
“Gagasan “NKRI Bersyariah” adalah jargon politik yang mengeksploitasi emosi umat,” ucapnya.
Seperti halnya kelompok mayoritas lainnya di masyarakat mana pun, muslim Indonesia menurutnya harus belajar bagaimana melindungi kelompok minoritas. Di bawah pendekatan ini, fleksibilitas hukum Islam dijamin, dan hak-hak konstitusional warga negara dijamin.
Ini adalah cara yang signifikan untuk menunjukkan bahwa kecocokan syariah dan konstitusionalisme tidak mengarah pada kekacauan politik atau menimbulkan kerugian pada masyarakat, sebagai gantinya ia melindungi kepentingan umum sebagai tujuan utama syariah.
“Memang benar bahwa demokrasi didasarkan pada mayoritas, tetapi kita juga memiliki konstitusi yang melindungi hak-hak minoritas dan membatasi kemampuan mayoritas untuk beroperasi sesuai keinginan,” imbuhnya.
Dalam Rapat Senat Terbuka ini, Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., menyampaikan laporan dekan yang mencakup berbagai pengembangan fakultas yang sedang menjalani masa akselerasi mutu baik dalam segi kurikulum, riset, infrastruktur, kegiatan kemahasiswaan, maupun kerja sama strategis kemitraan dengan berbagai pihak.
“Terima kasih kepada segenap pihak yang telah memberikan sumbangsih bagi perkembangan Fakultas Hukum UGM. Mudah-mudahan capaian ini bisa terus ditingkatkan dan menjadikan Fakultas Hukum UGM sebagai rujukan bagi fakultas hukum di tingkat dunia,” papar Sigit. (Humas UGM/Gloria)