Pakar politik UGM, Dr. Pratikno sependapat, jika tidak perlu lagi setiap lima tahun dilakukan pembahasan tentang Undang-Undang Politik di Indonesia. Katanya, terlalu banyak energi terbuang untuk itu.
“Masa tiap lima tahun sekali, harus selalu membuat UU baru di bidang politik?” kata Ketua Pengelola S-2 Politik Lokal UGM saat menjadi pembicara pada diskusi Great Thinkers “Memahami Pemikiran Charles de Montesquieu dan Masalah Kenegaraan” di Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, Selasa (26/2).
Selain ongkos dan biaya untuk pembahasannya di DPR, energi juga banyak dikeluarkan untuk soal-soal penyusunan draft, sosialisasi juga upayanya untuk proses pengesahan.
Belajar dari pengalaman Pemilu 2004 lalu, kata dia, demokrasi yang kini berjalan di Indonesia sudah berhasil dalam tataran pengertian electoral atau pemilihan, belum menyentuh substansi pengertian demokrasi. Secara substantif belum terlihat pemerintah berjalan secara efektif. Presiden terpilih berasal dari partai kecil, akibatnya, proses politik tak mampu menghasilkan kepemimpinan yang kuat.
“Undang-undang mengamanatkan sistem presidensiil, tapi inkonsisten dengan fakta politik,” tambahnya.
Berkaca dari pemikiran Montesqueiu, Pratikno menjabarkan, bahwa hukum itu untuk rakyat. Demokrasi bekerja untuk rakyat, dan ilmu politik mengenal tidak hanya demokrasi prosedural, namun juga proses demokrasi sebagai sesuatu yang substansial.
Karya besar Montesqueiu “The Spirit Of Law” menjadi hal penting yang kemudian dijabarkan beberapa negara di dunia dengan menganut metode empiris induktif dan komparatif. Negara seperti Inggris, Thailand, negara di Eropa seperti Norwegia, Denmark menganut konsep yang disampaikan, yaitu pentingnya konteks dalam memahami fenomena sosial.
Menurut Partikno, praktek demokrasi sesungguhnya tidak berhenti pada soal electoralisme. Ilmu politik mengenal adanya demokrasi substansial, yang berarti tidak sekedar pemenuhan hak-hak sipil (civil right) sekaligus adanya effective governance.
Sebagai contoh, katanya, kini belum ada grand policy dalam konstitusi dan terjadi inkonsistensi aturan perundang-undangan. “Belum ada grand policy dalam konstitusi. Lembaga terlalu banyak, usul saya Departemen itu jadi kantor sekretariat. Menteri seluruhnya ada di kantor presiden, untuk hindari konsistensi, itu yang dilakukan Amerika Serikat,” katanya.
Dirinyapun menyepakati soal perlunya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dalam negara demokrasi. Pemimpin itu punya posisi penting yang mampu memberikan inspirasi. Ia mencontohkan, proklamator Soekarno yang mampu menginspirasi bangsa Indonesia memiliki dignity.
Problema kelembagaan bermuara pada akar persoalan, yaitu belum munculnya kepemimpinan yang kuat. Dicontohkannya, pengelolaan di sektor kehutanan, banyak dimensi kepentingan terlibat.
Disebutkannya, UU Kehutanan yang ada, inkonsisten dengan UU Pemerintahan Daerah, juga kepentingan bidang lingkungan hidup, pariwisata dan pertambangan.
“Semua mengatur hal yang sama dan merasa berkepentingan. Ada hutan, di sana pertambangan, pariwisata terlibat, lalu pemerintah daerah berkepentingan, itu rumit dan problematis,” kata Pratikno.
Pemerintahan yang tidak efektif, katanya, terjadi akibat lembaga kepresidenan tumpang kacau balau. Menteri saat ini, memiliki otonomi yang luar biasa. Kabinet yang terbentuk tidak sepenuhnya berada dalam kontrol Presiden, karena juga mendapat pengaruh Ketua partai politik.
“Beda dengan Amerika, yang seluruh Menteri berada di Gedung Putih. Kabinet itu termasuk security council, semua kebijakan disana, dan berada dalam kontrol kantor kepresidenan,” tandas Pratikno. (Humas UGM)