
Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2017 pernah melaporkan bahwa 60 persen pekerja Indonesia memiliki pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Beberapa pengamat ekonomi menilai hal itu ditengarai karena terjadinya ketidaksesuaian kurikulum pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan kerja dunia industri, masih minimnya balai latihan kerja dan rendahnya permintaan pelatihan keterampilan bagi kaum muda. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk mendorong peningkatan kemampuan kerja kaum muda melalui pendirian lembaga pendidikan vokasional yang bekerja sama dengan industri serta memberikan pelatihan keterampilan kerja bagi kaum muda.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam diskusi yang bertajuk Meningkatkan Hasil Pasar Tenaga Kerja Muda dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di ruang auditorium FEB UGM, Jumat (1/3). Diskusi yang diselenggarakan atas kerja sama Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini menghadirkan perwakilan IMF, John C. Bluedorn, Ph. D, Dosen FEB UGM, Gumilang Aryo Sahadewo, S.E., M.A., Ph.D., dan ekonom UI serta ISEI, Dr. Ninasapti Triaswati, S.E., M.Sc.
Gumilang A Shadeqa Ph.D., mengatakan produktivitas tenaga kerja di Indonesia selama ini masih dianggap cukup rendah dibandingkan dengan negara lain di sekitar Asia Tenggara. Belum lagi ditambah ketidakcocokan keterampilan yang didapat dari pendidikan dengan kebutuhan kerja dunia industri. “Pendidikan dan industri seolah tidak sesuai sehingga perlu dijembatani dengan adanya pendidikan vokasi,” katanya.
Masih rendahnya keterampilan kerja kaum muda di dunia industri, menurutnya, disebabkan juga pendidikan yang paling banyak dibuka di lembaga pendidikan di bidang ilmu humaniora, hukum dan ilmu sosial yang mencapai 30 persen, sementara bidang ilmu teknik ,sains dan teknologi masih minim. “Bidang ilmu sains hanya 1,6 persen, bidang TIK 9,8 persen dan bidang teknik dan matematika 9,3 persen, bandingkan dengan Malaysia sudah 18,3 persen dan Vietnam 21 persen,” katanya.
Selain itu, pemerintah perlu menambahkan jumlah balai latihan kerja dalam memberikan keterampilan kerja bagi kaum muda. Ia menyebutkan hingga saat ini hanya ada 19 balai latihan kerja yang dikelola pemerintah pusat dan 284 balai latihan kerja yang dikelola pemerintah daerah. “Itu belum ditambah kondisi BLK dengan kurikulum dan ketetampilan yang masih tidak seusai dengan kebutuhan industri,” katanya.
Ia mengapresiasi langkah pemerintah yang akan membangun 1.000 balai latihan kerja berbasis komunitas dan ratusan balai latihan kerja di lembaga pendidikan pesantren.
John Bluedorn, PhD., mengatakan setiap negara menghadapi tantangan yang hampir sama dalam meningkatkan keterampilan kerja kaum muda. Disparitas teknologi dan kesenjangan gender menjadi hambatan dalam peningkatan keterampilan kerja. "Padahal, rendahnya keterampilan kerja dan rendahnya kualitas pendidikan menyebabkan angka pengangguran tenaga kerja muda meningkat,” katanya.
Penguatan lembaga latihan kerja, peningkatan kualitas pendidikan, pemberian pelatihan usaha dan pemasaran serta adanya jaminan sosial dan hukum terutama untuk kelompok perempuan sangat diperlukan. Menurutnya, kaum muda di Indonesia perlu mendapatkan pendidikan peningkatan kompetensi dan pelatihan usaha.
Ninasapti Triaswati Ph.D., menyoroti kesenjangan teknologi di kalangan tenaga kerja muda dan belum meratanya ketersediaan listrik dan internet yang menjadi hambatan dalam pengembangan pembangunan ekonomi industri berbasis digital. “Bila tidak ada listrik dan internet dampak ekonomi dari revolusi digital akan sulit dirasakan seluruh daerah,” ujarnya.
Soal ketenagakerjaan, ia meminta pemerintah perlu mendorong lahirnya peraturan ketenagakerjaan yang pro tenaga kerja serta mendorong iklim investasi yang baik sehingga terciptanya lapangan kerja baru. “Pemerintah dan politisi harus pro tenaga kerja sehingga ekonomi bisa tumbuh dengan baik,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)