
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM merayakan Dies Natalisnya yang ke-73, Sabtu (2/3). Serangkaian acara diselenggarakan pada hari itu, salah satunya Seminar Nasional “Demam Berdarah Dengue dalam Perspektif Sistem Kesehatan.
Seminar ini diadakan mengingat terjadinya lonjakan kasus DBD di Indonesia pada beberapa waktu belakangan ini. Tidak hanya itu, siklus DBD terbilang menarik karena erat kaitannya dengan masalah di luar kesehatan. Hal itu seperti kebersihan lingkungan, cuaca, hingga status gizi dapat memengaruhi terjadinya penyakit ini. Oleh karena itu, FKKMK mencoba meniliknya dari perspektif sistem kesehatan saat ini yang berada pada era Jaminan Kesehatan.
dr. Citra Indriyani, MPH., salah seorang pembicara yang hadir, menyatakan bahwa epidemiologi DBD di Indonesia telah meningkat selama kurun waktu 1968-2017. Peningkatan ini, menurutnya, terjadi karena banyak faktor.
“Pertama, bisa kita lihat dari pertumbuhan populasi manusia sebagai salah satu media yang terikat dengan Nyamuk Aedes aegypti. Semakin banyak manusia, semakin banyak pula kesempatan penyakit ini menyebar. Kedua, kondisi lingkungan juga berpengaruh. Perubahan iklim yang membuat curah hujan sepanjang tahun, memungkinkan reproduksi dari Nyamuk Aedes aegypti semakin cepat. Bisa dibilang panen,” ungkap Dosen Epidemiologi FKKMK UGM ini.
Citra melanjutkan bahwa berdasarkan WHO, Indonesia bahkan disebut sebagai kawasan hiperendemis DBD. Ia menyebut bahwa 7 dari 10 anak di Indonesia pernah mengalami dengue, meskipun bermacam-macam tingkat bahayanya. “Dari waktu ke waktu, Indonesia mengalami endemik DBD, namun kawasannya berganti-ganti, tidak hanya berdiam di satu tempat saja,” tuturnya.
Walaupun demikian, Citra mensyukuri bahwa pertumbuhan ini disertai dengan perkembangan tata laksana klinis yang semakin baik pula. Hal itu membuat angka fatalitas dari DBD ini juga semakin kecil. Namun, ia tetap mengingatkan untuk meningkatkan tata laksana sistem kesehatan agar angka fatalitas ini tidak meningkat.
Mengenai tata laksana klinis DBD, Dr. dr. Ida Safitri, Sp.A(K)., pembicara lain yang hadir, menjelaskan bahwa saat ini Indoesia mengacu guidline dari WHO tahun 2011. Hal itu karena guidline inilah yang paling sesuai dengan kondisi di Asia Tenggara, tidak seperti yang dikeluarkan WHO tahun 2009.
Akan tetapi, Ida menyebut bahwa saat ini di Indonesia masih memiliki beberapa kesulitan dalam mendeteksi kasus DBD. Ia mengugkapkan saat ini di Indonesia hanya bisa mendeteksi DBD yang simtomatik saja atau yang menunjukkan gejalanya saja. “Padahal, terdapat penderita DBD yang asimtomatik. Hal ini cukup mengkhawatirkan,” keluhnya.
Meski begitu, Ida tetap mengingatkan pentingnya masyarakat umum untuk mengetahui warning sign DBD. Berdasarkan WHO, tanda-tanda tersebut adalah demam hingga 40°C yang disertai pusing, nyeri di belakang mata, otot, dan persendian, mual, muntah-muntah, serta bintik-bintik merah atau ruam.
“Jika tanda-tanda tersebut sudah muncul, segera saja dibawa untuk perawatan klinis, tidak perlu lagi dibawa ke laboratorium untuk dicek,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)