
Setiap bangsa di dunia memiliki konstitusi yang sesuai dengan filosofi dan ideologi masing-masing. Meski dalam perjalanannya suatu bangsa mengalami pasang surut akibat kondisi politik dan ekonomi, namun naskah asli dari sebuah konstitusi tersebut harus tetap dipertahankan. Kalaupun ada penyempurnaan, hanya lebih kepada penjabaran dari konstitusi yang sudah ada. Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam diskusi bedah buku “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945”, Rabu (13/3) di ruang Balai Senat UGM. Diskusi yang diprakarsai oleh Dewan Guru Besar UGM dan Gerakan Kebangkitan Indonesia ini menghadirkan pembicara Sri Sultan Hamengku Buwono X, anggota gerakan Kebangkitan Indonesia sekaligus salah satu pemrakarsa buku tersebut, Taufiequrachman Ruki, Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Kaelan, dan Guru Besar Ilmu Hukum UGM, Prof. Sudjito.
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan Pancasila sebagai dasar negara lahir dalam dinamika perjuangan kemerdekaan, ia bukan hanya dasar negara, namun lebih dari itu sebagai bagian dari jati diri bangsa yang mempresentasikan seluruh elemen bangsa. “Pancasila digali dari jati diri bangsa Indonesia sendiri,”katanya.
Menurut Sri Sultan, perumusan sila-sila Pancasila tidaklah mudah karena Bung Karno dan kawan-kawan harus menghimpun masukan dari berbagai tokoh masyarakat. Meski banyak perbedaan, namun kesemuannya memililiki keinginan kuat untuk bersatu membentuk sebuah negara yang memiliki visi ke depan di tengah keanekaragaman agama, suku, etnis dan budaya
Namun demikian, Pancasila yang sejatinya menjadi rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menurut Sri Sultan, seharusnya mampu menjiwai setiap lahirnya UU dan peeraturan perundang-undangan. Namun, kenyataan justru yang terjadi sebaliknya. “Kehidupan bangsa mengalami disorientasi dengan adanya globalisasi dan pasar bebas, Pancasila pun seolah kehilangan makna,” katanya.
Menurutnya, Pancasila harus bisa tumbuh dan hidup di masyarakat apabila diaktualisasikan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara dan warga negara. Soal perlu dan tidak bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945, Sri Sultan tidak ingin berkomentar lebih jauh. “Kalaupun ada amandemen, tetap ada potensi risiko, namun jika kembali ke UUD 1945 harus dipikirkan lebih matang oleh banyak para pakar tata negara agar bangsa ini menuju jalan selamat dan elegan sesuai dengan nilai dan filosofi Pancasila,” katanya.
Taufiequrachman Ruki mengatakan bangsa Indonesia perlu kembali ke UUD 1945 karena maraknya praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah beserta anggota legislatif yang menurut pandangannya disebabkan pelaksanaan demokrasi yang membutuhkan biaya tinggi. “Mengapa mereka korupsi? karena politik yang pragmatis dan transaksional, mereka yang bermain politik praktis sebagian besar adalah pemburu rente dan pemburu kekuasaan,” katanya
Sementara itu, Prof. Kaelan mengatakan hasil amandemen UUD 1945 yang ada saat ini tidak sesuai dengan dengan filosofi Pancasila. Menurutnya, amandemen yang terjadi di banyak negara hanya mengubah sebagian konstitusi, namun masih tetap mempertahankan naskah aslinya. Namun, proses amandemen UUD 1945 justru sebaliknya. “Kita mestinya malu pada bangsa lain,” tandasnya.
Prof. Sudjito mengatakan konstitusi negara tidak boleh dibuat sembarangan, apalagi dalam kondisi yang tidak kondusif dan emosional. Ia mengutip pernyataan Mantan Ketua MK RI, Prof. Jimly Asshidiqie, soal perubahan konstitusi RI pasca amandemen. “Konstitusi sekarang ini tidak sesuai dengan Pancasila, berubah 300 persen, semacam lahirnya konstitusi baru,” kata Sudjito. (Humas UGM/Gusti Grehenson;foto: Firsto)