
Akhir 1930-an dan awal 1940-an menjadi saksi puncak berseminya terbitan cerita misteri bagi pembaca Melayu.
Hal itu disampaikan Dr. William Bradley Horton, peneliti asal Akita University Jepang, dalam kuliah umum yang berjudul “Patjar Koening dan Misteri Kematian Thamrin : Sastra Populer Terbitan Jogja 1930-1940” pada Selasa (12/3) di Ruang Multimedia, Gedung Margono lantai 2, FIB UGM. Kuliah tersebut diselenggarakan oleh Prodi Sastra Indonesia (Sasindo) UGM.
Sementara itu, kehadiran Bradley pagi itu adalah sebagai tamu untuk mengisi kuliah tersebut dengan didampingi moderator Dr. Cahyaningrum Dewojati, M.Hum. Walaupun diselenggarakan oleh Prodi Sasindo dan bertempat di FIB, peserta yang hadir lebih beragam, tidak hanya dari Sasindo ataupun FIB, karena memang terbuka untuk umum.
Bradley melanjutkan pemaparannya dengan menjelaskan maksud perkataannya sebelumnya. Dalam kurun waktu yang dirujuknya tersebut, terbitan novel-novel misteri di Indonesia sedang gencar-gencarnya. Hal itu termasuk buku saduran bahasa asing pula.
Novel-novel tersebut seperti Koedoes dalam Gelap Goelita dan novel seri Patjar Koening. “Novel yang saya sebut terakhir inilah yang akan menjadi fokus pembahasan saya kali ini,” tuturnya.
Sepanjang tahun 1941, novel Patjar Koening telah terbit paling tidak tujuh seri. Seri kedelapan dengan judul ‘Dalam Perangkap’ disebutkan pada akhir seri ketujuh, namun tidak pernah rilis karena dimulainya perang dengan Jepang.
Sang pengarang tidak pernah diketahui nama aslinya sampai sekarang, hanya nama samaran Ketjindoean yang diketahui karena memang tertera dalam sampul bukunya. Nama khas Minangkabau tersebut dipakai sang pengarang khusus untuk novel seri ini karena sejauh ini tidak terdapat nama sama dalam buku-buku lain.
Bradley menunjukkan hal yang menarik dari seri ini terdapat pada bagian kelimanya yang berjudul ‘Kedjadian jang Aneh’ terbit pada Juli 1941. Berdasarkan analisisnya, konteks antara masa dirilisnya seri tersebut dan kejadian faktual yang terjadi terdapat kesamaan.
Seri kelima ini mengisahkan lelaki bernama Hoesain Damiri, seorang tokoh publik di Kota S. Pada suatu malam, ia terbunuh ketika sedang sendirian di kamanya. Kematiannya yang mendadak dianggap janggal oleh penduduk kota, terutama dengan alasan sakit, walaupun pembunuhan juga tidak tidak terpikirkan karena berada di ruangan tertutup.
Akhirnya dengan bantuan seorang detektif, yakni Raden Pandji Soebroto, kasus ini terselesaikan. Ia menemukan bahwa Hoesain Damiri telah dibunuh oleh seorang wartawan yang bernama Soelaiman. Cara membunuhnya adalah dengan menggunakan racun yang ditiupkan melalui gelembung udara melalui ventilasi udara yang menghadap luar rumah.
Racun yang dipakai Soelaiman tersebut ternyata berasal dari Patjar Koening. Ia membunuh Hoesain Damiri karena masalah uang yang tak kunjung diberikan. Patjar Koening yang murka mengetahui racunnya digunakan untuk keperluan pribadi akhirnya membunuh sang wartawan juga.
Cerita tersebut setelah diamati oleh Bradley, ternyata terdapat kemiripan dengan kisah Mohamad Hoesni Thamrin yang meninggal tidak lama sebelum novel tersebut diterbitkan. Pemimpin golongan nasionalis tersebut selama ini menjadi tahanan rumah, dan tiba-tiba meninggal di dalam kamarnya sama seperti Hoesain Damiri.
Kesamaan lain, menurut Bradley, adalah nama dari keduanya, yakni Hoesain Damiri dan Hoesni Thamrin yang terdengar hanya seperti diplesetkan semata. Kemudian, Kota S yang dimaksud dalam cerita ia selidiki ternyata bukanlah nama kota melainkan Sawah Besar, yakni daerah di Jakarta tempat Hoesni Thamrin tinggal.
Bradley juga menyebut Hoesni Thamrin mengalami konflik dengan seorang wartawan yang bernama M. Thabrani selama hidupnya seperti Hosain Damiri dengan Soelaiman. Selain itu, seperti Hoesain Damiri, Hoesni Thamrin juga disokong kekuatan asing karena dukungannya kepada Jepang yang membuatnya menjadi tahanan rumah tadi.
Satu hal yang Bradley sebut tidak mungkin terjadi pada Hoesni Thamrin tapi terjadi pada Hoesain Damiri adalah penyebab kematiannya. “Hoesni Thamrin tidak mungkin dibunuh dengan racun. Karena pada tahun tersebut tidak mungkin seseorang dengan mudahnya memasukan racun ke Hindia,” sebutnya.
Akhirnya, Bradley menyimpulkan bahwa dari keterkaitan novel seri Patjar Koening dengan cerita kematian Hoesni Thamrin menunjukkan kegagalan genre novel detektif di Indonesia dan Malaysia. Hal itu karena novel ini tidak memiliki kedekatan dengan realitas publik pembacanya kala itu.
“Padahal, ketika kedekatan tersebut terjalin akan memberi sensasi yang lebih jelas kepada pembaca. Utamanya bagian gelembung gas racun yang belum pernah dipakai saat itu. Cerita ini lebih tepat dengan genre politik, kejahatan, dan fantasi,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)