Direktur Eksekutif Hukum Bank Indonesia, Rosalia Suci Handayani, S.H., L.LM., menegaskan Bank Indonesia menyatakan virtual currency termasuk bitcoin sehingga tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Bank Indonesia pun melarang Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) dan penyelenggara Teknologi Finansial untuk memproses transaksi pembayaran/ kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency.
Ia menegaskan hal itu pada seminar nasional Blockchain 101: Tinjauan Aspek Hukum Implementasi Teknologi Blockchain Dalam Sektor Keuangan di Indonesia. Menjadi salah satu pembicara seminar yang digelar Fakultas Hukum UGM, Rosalia menyebut BI saat ini tengah mengkaji terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) dan penggunaan Blockchain/ Distributed Ledger Technology dalam proses setelmen sebagaimana yang juga dilakukan oleh bank sentral lainnya.
“Larangan virtual cureency tersebut sesuai dengan Ketentuan dalam UU No. 7 tahun 2011 Tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan seterusnya,” katanya di UC UGM, Selasa (26/3).
Menurut Rosalia, kepemilikan virtual currency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, dan tidak terdapat underlying asset yang mendasari. Harga virtual currency serta nilai perdagangan, menurutnya, sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble) serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga dapat memengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.
“Oleh karena itu, Bank Indonesia memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan virtual currency,” katanya.
Prof. Dr. Sulistiowati , S.H., M.Hum, Guru Besar FH UGM yang juga Pakar Hukum Perbankan dan Pasar Modal mengungkapkan semangat penggunaan teknologi untuk menyederhanakan proses melalui teknologi finansial (tekfin) sehingga kemungkinan penyimpangan tata kelola dapat diminimalkan. Meski begitu, transformasi dari manual menjadi elektronik tentu saja tidak hanya mengejar efisiensi, namun tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum terkait, yaitu prinsip dan norma hukum di bidang hukum lembaga keuangan.
“Menggunakan teknologi blockchain sekalipun maka berbagai prinsip perbankan harus selalu dipegang dan diperhatikan, di antaranya kepercayaan, kehati-hatian, kerahasiaan, serta mengenal nasabah,” ucapnya.
Prinsip Kepercayaan, kata Sulistiowati, terbangun karena nasabah transfer dana menggunakan blockchain menjadikan transfer dana bersifat transparan, bilateral dan tidak dapat diubah. Teknologi blockchain akan membantu bank untuk secara langsung mentransfer dana antara satu sama lain, lebih cepat dan lebih murah tanpa risiko pencurian atau penipuan.
“Karakteristik blockchain yang transparan dengan pembaruan hampir secara real time (dengan kronologis dan cap waktu) akan meningkatkan bank untuk mempertahankan kepercayaannya dari nasabah,” katanya.
Sementara itu terkait prinsip kehati –hatian maka teknologi blockchain pada transfer dana harus sesuai dengan peraturan perundang –undangan yang berlaku. Teknologi blockchain menggantikan bank koresponden dalam meneruskan transfer dana, dan teknologi blockchain melakukan analisis secara kuantitatif terhadap transaksi yang tercatat dalam blockchain .
“Pengisian data oleh para pihak yang tidak sesuai akan ditolak oleh blockchain secara otomatis,” ucapnya.
Sedangkan, prinsip kerahasiaan menjelaskan kerahasiaan pada teknologi blockchain berkaitan dengan data pribadi pihak yang melalukan transfer dana, aliran dana transfer, waktu dilakukannya transfer. Blockchain hanya bisa diakses oleh pihak bank, pihak perusahaan blockchain dan pihak lain yang diberi akses pada blockchain tersebut.
“Yang tak kalah penting prinsip mengenal nasabah, prinsip ini diterapkan bank untuk mencermati dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang diduga mencurigakan,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)