Pemilihan Umum serentak pertama kali di Indonesia tinggal menghitung hari. Meski begitu, kontestasi antar kandidat dan simpatisan semakin memanas, bahkan merembet pada isu-isu terkait penyelenggara Pemilu 2019.
Ada yang percaya (melegitimasi), namun ada pula yang tidak percaya (mendelegitimasi) penyelenggara Pemilu 2019. Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM melalui Laboratorium Big Data Analytics melakukan analisis big data tentang isu-isu baik terkait dengan kepercayaan (legitimasi) maupun ketidakpercayaan (delegitimasi) terhadap pemilu 2019 terutama terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data diperoleh melalui percakapan di dalam media social twitter dan 270 media online selama rentang waktu 10 hari, 22 Maret – 1 April 2019.
Secara frekuensi isu, data hasil analisis percakapan di twitter mencatat sebanyak 6.945 percakapan tentang kepercayaan atau legitimasi maupun ketidakpercayaan atau delegitimasi terhadap pemilu 2019. Dari data tersebut sebanyak 4.405 percakapan menampilkan ketidakpercayaan terhadap KPU, angka ini jauh lebih banyak dibandingkan percakapan yang melegitimasi pemilu 2019, yaitu sebanyak 2.540 percakapan.
“Kami menemukan terdapat percakapan yang mendelegitimasi (ketidakpercayaan) KPU, yang secara sistematis dibuat dan disebarluaskan melalui platform media sosial twitter, dan banyak dari akun-akun tersebut yang mematikan setting lokasinya,” ujar Sigit Pamungkas, S.IP., M.A, di Digilib Café Fisipol UGM, Kamis (4/4) saat menyampaikan data analitik terkait legitimasi dan delegitimasi Pemilu 2019 bertajuk Peta Ancaman Legitimasi Pemilu 2019.
Sigit menyebut secara sebaran geografis, dari 1.705 percakapan yang berhasil dideteksi dan dipetakan lokasinya, percakapan terkait dengan isu delegitimasi pemilu 2019 banyak terkonsentrasi di Jawa Barat (465) dan DKI Jakarta (352) dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Sementara itu, secara kualitatif-kuantitatif melalui analisis word-cloud serta penelusuran akun-akun terkait, ditemukan netralitas penyelenggara atau KPU menjadi poin yang sering diputar dan menjadi isu krusial baik bagi kelompok yang melegitimasi maupun yang mendelegitimasi pemilu 2019.
“Dulu ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu itu bersifat natural, tidak ada proses mengakselerasi, merekayasa untuk mengatakan KPU berpihak, untuk mengatakan KPU curang. Untuk saat ini proses itu ada semacam fabrikasi dan memproduksi itu sedemikian rupa sehingga benar-benar menancapkan ke benak pemilih (public) bahwa benar KPU curang, padahal faktanya tidak demikian,” ucapnya.
Bagaimana KPU disudutkan dengan berita hoaks seperti surat suara tujuh kontainer. Juga dengan pemantau internasional, padahal keterlibatan pemantau internasional ini bukan barang baru karena sejak 1999 dan pemilu 2004 sudah diundang, baik itu perwakilan kedutaan, lembaga-lembaga yang mengkontruksikan dirinya dalam pemantauan, dan penyelenggaraan pemilu di luar negeri.
Sigit menandaskan ada upaya terus melakukan delegitimasi, baik dengan gerakan-gerakan demontrasi maupun terus mengkampanyekan ada kecurangan. Menurutnya, hal ini akan merugikan siapapun yang memenangkan pemilu dan membahayakan bagi tatanan demokrasi.
“Meski begitu, semua bisa dinetralkan dengan munculnya civil society yang menampilkan data pemilu itu apa adanya karena ujung dari kontestati ini adalah hasil pemilu, hasil pemilu itu adalah mahkotanya pemilu. Harus ada civil-society yang mau menampilkan data pemilu sehingga semua pihak bisa melihat dan bisa mereduksi kecenderungan akselerasi delegitimasi,” katanya. (Humas UGM/ Agung)