Sabtu pagi (6/4) lapangan Pancasila UGM ramai. Ada yang berolahraga, namun tidak sedikit pula dari mereka hanya berjalan-jalan mengitari lapangan.
Di sudut luar lapangan sebelah barat, sebagian lagi tengah sibuk berdandan pakaian Jawa lengkap. Mereka bersiap melepas anak panah karena hari itu tepat Sabtu Legi saatnya bagi Paguyuban Jemparingan Gadjah Mada (Pringgama) unjuk ketangkasan.
“Ini sebenarnya kegiatan rutin dan di UGM itu sekarang memiliki Jemparingan Gadjah Mada atau disingkat Pringgama. Umurnya sudah hampir dua tahun. Setiap Sabtu Legi, seperti saat inilah kita mengadakan gladen ageng,” ujar Ir. Cuk Tri Noviandi, S.Pt., M.Anim,St., Ph.D., IPM, dosen Fakultas Peternakan UGM.
Cuk Tri Noviandi menjelaskan Pringgama merupakan komunitas panahan tradisional yang berdiri di UGM. Pringgama ini beranggotakan para dosen dan tenaga kependidikan.
Berbeda dengan UKM Panahan milik mahasiswa UGM, Pringgama berdiri untuk pelestarian budaya sehingga dalam kiprahnya Pringgama bukan untuk meraih prestasi, namun mencari “manahnya” atau dalam Bahasa Jawa memanah hati agar menjadi tenang.
“Kalau ditanya prestasi apa, memang kita tidak ada prestasi karena arahnya memang tidak kesana. Sebab, tujuan dari jemparingan itu kita mencari “manahnya”, memanah hati, yaitu membuat hati menjadi tenang, itu yang kita cari dari panahan ini, dan itu tidak sekali atau dua kali, namun prosesnya sangat panjang, sementara kalau panah yang moden memang arahnya prestasi,” ucapnya.
Meski sudah berdiri, Cuk Tri Noviandi mengakui Paguyuban Jemparingan Gadjah Mada belum resmi secara struktural organisasi. Di Indonesia tercatat baru dua universitas, yaitu UGM dan Unversitas Atmajaya yang memiliki paguyuban semacam ini.
Gladen Ageng Jemparingan Sabtu Legi, kata Cuk, merupakan even latihan khusus setelah selapan hari melakukan latihan-latihan biasa. Jika pada latihan biasa hanya berbusana kaos maka di Gladen Sabtu Legi harus berbusana Jawa lengkap.
Selain itu, jika di latihan hari-hari biasa tanpa skor (angka perolehan) maka di Gladen Sabtu Legi dinilai. Penilaian dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu dengan memanah sasaran benda mirip lontong (bandul) yang pucuknya diberi warna merah 1 cm dan bawahnya warna putih.
“Jika terkena warna merah nilainya 3, terkena putih nilai 1. Gladen Ageng berarti latihan besar, ya terkadang ada hadiahnya, istilahnya sebagai bebungah,” katanya.
Meski begitu, Gladen Ageng Sabtu legi bukan sebagai ajang mencari prestasi karena yang terpenting dari kegiatan Pringgama adalah sarana untuk silaturahmi, bertemu dengan teman-teman, mencoba kemampuan dan soal prestasi adalah nomor kesekian.
Cuk menjelaskan di Gladen Ageng Sabtu Legi setiap peserta pada setiap kali rambahan (sesi) harus melepas 4 anak panah. Kegiatan itu diulang-ulang dan setiap peserta harus melampaui 20 sesi, artinya seorang peserta akan mendapat kesempatan melepaskan 80 anak panah.
Menurutnya, yang terpenting dari kegiatan Pringgama ini setiap peserta harus mendapat bungah (senang). Dari berbagai latihan yang selalu digelar, peserta diharapkan bisa mendapatkan bungah meski tidak mendapat bebungah (hadiah).
“Tidak mendapat sasaran harus tetap senang. Itulah maknanya mau kena sasaran atau tidak kita harus bungah. Tetap bahagia, ke depan setiap anggota diharapkan bisa merasakan itu. Jangan sampai pulang menggerutu karena tidak mengena sasaran sama sekali, terus pulangnya jengkel itu tidak benar, pokoknya ketemuan dengan teman senang menambah saudara, memperpanjang umur dan guyon,” pungkas lurah Pringgama ini. (Humas UGM/ Agung;foto:Vino)