
Wacana TNI untuk melakukan reorganisasi dan restrukturisasi mengundang kontroversi publik. Pemerintah memandang kebijakan tersebut penting untuk mengatasi masalah ratusan perwira non-job di TNI. Meski begitu, berbagai kelompok akademisi dan masyarakat sipil justru khawatir kebijakan ini dapat memicu persoalan lain.
Prof. Dr. Mochtar Mas’oed, dosen Hubungan Internasional UGM, mengatakan hubungan sipil dan tentara dalam demokrasi menuntut aturan tertulis yang kokoh agar ada saling kontrol sehingga tidak ada yang kebablasan. Oleh karena itu, pasca 1999 Indonesia memiliki demokrasi tanpa tentara setelah dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI sebagai produk era Orde Baru.
Ia mengatakan sejak tahun 1999 Indonesia sepakat memilih demokrasi tanpa tentara terkait relasi sosial sipil dan militer dalam demokrasi. “Pokoknya tidak Orde Baru sehingga ada yang bilang rumahnya dibongkar, buat fondasi yang baru, tapi ada yang bilang, kalau jendelanya yang rusak, kita ganti saja jendelanya,” katanya dalam seminar Reorganisasi dan Tantangan Profesionalisme Militer di Era Demokrasi, Auditorium Pascasarjana UGM, Rabu (10/4).
Dalam demokrasi, katanya, risiko untuk berbuat kesalahan sangat kecil. Sebab, dalam demokrasi yang diperintah memiliki peluang untuk mengawasi yang memerintah.
Istilahnya ada kontrol atau ada yang mewakili kepentingan yang diperintah dan sering disebut dengan perwakilan. Sementara itu, militer yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dalam lembaga-lembaga sipil memegang supremasi yang memerintah.
“Kontrol dalam demokrasi harus dua arah, antara masyarakat dan tentara,” imbuhnya.
Untuk itu, Mochtar menilai harus ada jaminan konstitusional yang kokoh agar bisa melindungi demokrasi dari politisi yang punya ambisi militer atau militer yang mempunyai ambisi politik.
Dalam diskusi yang digelar Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM dan MPRK UGM, ini Eko Prasetyo pendiri Social Movement Institute, Yogyakarta menyebut sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia tidak selesai hingga saat ini. Menurutnya, jika Indonesia tidak dapat mengadili pelaku kejahatan HAM ini maka batas antara kejahatan dan kebaikan akan semakin menipis.
“Di berbagai tempat ada Aksi Kamisan yang digelar keluarga korban pelanggaran HAM sampai saat ini. Aksi-aksi itu merupakan salah satu pengingat bahwa ada yang belum diselesaikan di Indonesia terkait pelanggaran HAM oleh tentara,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)