Laboratorium Big Data Analytics dan PolGov Research Center Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) FISIPOL UGM merilis hasil pemetaan potensi politik uang pemilu 2019, Senin (15/4).
Dari analisis big data terhadap 7.647 percakapan terkait varian politik uang di sosial media yang dilakukan dari 2-12 April 2019 menunjukkan percakapan tentang politik uang banyak terjadi di Jawa.
“Secara geografis, Jawa Barat menjadi daerah dengan densitas percakapan tertinggi terkait politik uang dengan 433 percakapan yang banyak terjadi di Bandung, Bogor, dan Bekasi. Diikuti DKI Jakarta dengan 358 percakapan, dan Jawa Timur sebanyak 222 percakapan,” ungkap dosen dan peneliti DPP FISIPOL UGM, Dr. Wawan Mas’udi, saat Konferensi Pers Rilis Hasil Big Data “Peta Potensi Politik Uang Pemilu 2019” di Digilib Cafe, Senin (15/4).
Ketiga wilayah tersebut merupakan daerah dengan jumlah percakapan mengenai politik uang tertinggi jika dibandingkan dengan daerah lain yang berada di bawah 100 percakapan. Kendati percakapan tentang politik uang banyak menumpuk di wilayah Jawa, Wawan menyampaikan bahwa perbincangan tersebut juga terjadi hingga ke wilayah Indonesia Timur.
“Hal ini menunjukkan kalau masyarakat kita cukup perhatian dengan persoalan politik uang,” tuturnya.
Sementara itu, dari total 7.647 perbicangan di media sosial terkait politik uang, hanya 1.817 yang lokasinya terdeteksi dengan ‘amplop’ menjadi kata kunci sentral diantara kata-kata indikatif lainnya. Sedangkan percakapan tentang politik uang ini mencapai puncaknya pada 11 April 2019 dengan 2.291 percakapan. Hal itu disebabkan percakapan yang mengarah pada tuduhan salah satu pasangan calon pilpres dan laporan-laporan sporadis yanng menyampaikan adanya praktik jual beli suara oleh para kandidat legislatif.
Wawan mengatakan praktik politik uang akan semakin gencar dilakukan mendekati hari H pemilu. Oleh karena itu, praktik politik uang harus menjadi perhatian semua elemen bangsa.
“Persoalan politik uang ini harus kita kawal bersama,”katanya.
Sementara pengamat politik pemerintahan DPP UGM lainnya, Dr. Mada Sukmadjati, menyampaikan hasil penelitian potensi politik uang yang dilakukan melalui survei pemilih dan penelitian kualitatif pembiayaan kandidat kepala daerah di DIY dan Kota Madiun pada 2018.
Mada mengungkapkan dari hasil survei terhadap pemilih di DIY menunjukkan bahwa hanya ada 17,38%yang menyatakan pemberian uang atau barang dalam pemilu boleh dilakukan. Sementara 79,38% menyatakan tidak boleh menerima pemberian barang atau uang, dan sisanya 3,25% tidak tahu/tidak menjawab.
“Secara normatif semua orang tahu politik uang itu haram atau tidak boleh,” ujarnya.
Namun, saat dilakukan survei lagi kalau diberi uang atau barang apakah akan memilih, jawaban yang muncul sebanyak 34,5% menerima, 60,12% tidak menerima, dan 5,38% tidak menjawab. Hal tersebut, dikatakan Mada, menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara kognisi dan praktik yang dilakukan masyarakat. Kondisi tersebut mengingatkan kembali pada perilaku pemilih yang tidak nyambung.
“Apakah ini menunjukkan pemilih kita ini bipolar? Perlu juga didiskusikan tekanan terhadap politik uang begitu besar sehinga membuat masyarakat berkompromi,” tuturnya.
Temuan lainnnya menunjukkan praktik jual beli suara tidak mengenal gender dan usia. Namun begitu, sangat berpengaruh pada kelas sosial yakni pendidikan dan pendapatan pemilih. Tingkat pendidikan menjadi variabel penentu, pemilih tidak sekolah dan hanya tamatan pendidikan dasar dan menengah cenderung menerima uang atau barang dari kandidat, yakni sebanyak 35,76% pada tamatan SMA, 46,15% pemilih tidak tamat SD, sedangkan tamatan sarjana dan pendidikan tinggi hanya 20,2% yang mengaku menerima.
Demikian halnya dalam kategori pendapatan, sekitar 40% pemilih dengan pendapatan di bawah Rp2 juta mengaku akan menerima uang atau barang dibandingkan pemilih berpendapatan di atas Rp5 juta yakni sekitar 20%.
“Politik uang dengan jual beli suara akan masif di daerah dengan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah yang banyak serta memiliki kepadatan penduduk yang tinggi,”urainya.
Mada mengatakan politik uang terjadi karena berbagai macam faktor, diantaranya faktor ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Guna menekan praktik politik uang ini dia menyampaikan beberapa masukan jangka pendek dan jangka panjang. Solusi jangka panjang dengan memasukan materi dalam pendidikan di sekolah yang dapat dimasukkan ke dalam submateri antikorupsi. Sementara jangka pendek dengan melakukan patroli pengawasan pemilu oleh bawaslu dan pemilih sehingga sekaligus dapat melakukan pengawasan partisipatif.
“Solusi dan inisiatif masyarakat sipil juga dibutuhkan untuk meminimalkan politik uang,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)