Teknologi pintar dan penerapan metode modern merupakan sejumlah upaya yang tepat untuk meningkatkan hasil pertanian. Hal tersebut dipilih Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada (DTPB FTP UGM) dan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dalam mendampingi OPD Kabupaten Sumba Timur mengelola pertaniannya.
UGM dan ICCT menerapkan pengembangan budi daya padi dengan metode SRI (System of Rice Intensification). Inovasi teknologi berupa telemetri tanah, udara dan air dilengkapi aplikasi berbasis web dan android yang bertujuan untuk meningkatkan hasil panen, menghemat kebutuhan bibit, menghemat kebutuhan pupuk, dan mengurangi kebutuhan air hingga 25 pesren. Tak hanya itu, aplikasi teknologi tersebut mampu menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Luku Kalara, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Bayu Dwi Apri Nugroho, Perwakilan Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM), menyampaikan pengembangan demplot SRI kolaborasi antara ICCTF-FTP UGM ini dilaksanakan mulai musim tanam pertama tahun 2018 dan berlangsung sampai sekarang. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi dengan metode SRI. Metode ini mereplikasi kegiatan serupa di Kabupaten Kupang rata-rata metode konvensional menghasilkan 5-6 ton/ha, di Baumata dengan metode SRI dapat meningkatkan produktivitas padi 3 ton/ha.
“Peningkatan signifikan terjadi di Desa Tarus yang semula rata-rata hasil panen padi 5,6 ton/ha, menjadi 12 ton/ha dengan metode SRI seluas 28 Ha,” ungkapnya, dalam rilis yang diterima Kamis (25/4).
Budi daya padi dengan metode SRI ini memiliki kelebihan, yaitu hemat air, hemat bibit, hemat biaya, hemat waktu, dan organik sehingga rendah emisi dan ramah lingkungan.
Upaya budi daya padi SRI ini merupakan bagian dari strategi adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim mengingat efek buruk dari perubahan iklim sudah dirasakan oleh masyarakat umum di berbagai daerah di Indonesia. Terlebih bagi Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah beriklim kering yang dipengaruhi angin musim, sektor pertanian seperti padi sering sekali mengalami kesulitan dalam mendapatkan hasil panen yang stabil.
Metode SRI ini, disebutkan Bayu, menjawab tantangan masyarakat petani terutama di daerah kering dan rentan sebagai strategi adaptasi perubahan iklim yang paling tepat guna. Kegiatan adaptasi dalam program ini bertujuan untuk mengembangkan strategi ketangguhan iklim dan mencegah kerentanan petani serta lahan pertaniannya akibat kekeringan melalui budi daya SRI dan informasi pertanian berbasis teknologi aplikasi.
Lebih lanjut Bayu mengatakan alasan pemilihan Desa Luku Kalara, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur sebagai daerah implementasi metode SRI. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada karakteristik desa yang berpenduduk 1.041 jiwa dan 42,8% dari warganya bermata pencaharian sebagai petani.
Namun, ada beberapa kekurangan yang terjadi diantaranya adalah infrastruktur irigasi yang sudah bagus tetapi belum diimbangi dengan SDM yang baik dalam pengelolaannya. Masih sering terjadi gagal panen diakibatkan belum tepatnya metode tanam yang digunakan dan serangan hama yang terjadi akibat sistem tanam yang tidak serentak.
Padi SRI yang dikembangkan di Desa Luku Kalara, Sumba Timur akhirnya sudah dapat dipanen. Perayaan panen raya dilakukan Kamis (25/4). Dalam kegiatan itu dihadiri Drs. Gidion Mbilijora, M.Si., Bupati Sumba Timur, Andi Abikusno, Direktur Operasional Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Ir. Rohmad Supriadi, Msi., Kepala Biro Perencanaan, Organisasi dan Tata Laksana (Renortala) Kementerian PPN/Bappenas dan Bayu Dwi Apri Nugroho, STP., M.Agr., Phd., Mr. Jason Seuc, Direktur Pelaksana dari Kantor Lingkungan Hidup United States Agency for International Development (USAID), Direktur PDTT, Kemendesa PDTT, perwakilan Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus sebagai project manager (PIC kegiatan).
Gilbert Harangmbani, anggota kelompok petani Desa Luku Kalara, turut menyampaikan antusiasme dan rasa syukur karena telah melihat dampak positif dari program SRI ini. Dia terbantu dengan adanya program dan merasakan nilai lebih program.
“Awalnya petani masih ragu karena pola tanam 1 anakan ini kami anggap sangat berisiko. Namun, saat ini kami sudah merasakan dampak baiknya,” jelasnya.
Dia berharap kedepan program ini dikembangkan dan disebarluaskan ke petani lainnya di Sumba Timur. Dengan begitu, program dapat memperbaiki taraf hidup petani Sumba Timur.
Andi Abikusno, Direktur Operasional Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), mengatakan metode SRI adalah sebuah inovasi untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat sekaligus sebagai upaya adaptasi untuk mengantisipasi perubahan iklim. Sektor adaptasi dan ketangguhan merupakah salah satu fokus area pendanaan ICCTF.
Metode SRI yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman dengan menggunakan bibit berumur muda, jarak tanam lebar, pupuk organik, irigasi terputus-putus, dan beberapa penyiangan, terbukti menghasilkan produktivitas padi lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan sistem konvensional.
“Untuk memantau dan merekam data cuaca wilayah pertanian di Desa Luku Kalara ICCTF bekerja sama dengan FTP UGM juga telah mengembangkan teknologi telemetri untuk menganalisis iklim mikro, seperti hujan, suhu, dan kelembapan tanah yang dapat diakses oleh kelompok tani di lokasi program,” jelasnya.
Jason Seuc, Direktur Pelaksana dari Kantor Lingkungan Hidup United States Agency for International Development (USAID), mengatakan pemerintah Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID) berkomitmen untuk mendukung upaya Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan, pertanian, energi, dan sektor lainnya, dan untuk menangani dampak perubahan iklim serta menanggulangi bencana alam.
Dengan kerja sama dan pemberian dana melalui Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), mereka bekerja sama untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon dan meningkatkan ketahanan iklim untuk melindungi lingkungan dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Penerapan sistem SRI atau System of Rice Intensification ini mungkin merupakan solusi nyata bagi kondisi iklim di Sumba Timur dan kami sangat senang dapat menjadi bagian upaya peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat Sumba Timur dalam menghadapi dampak perubahan iklim,” paparnya.
Rohmad Supriadi, Kepala Biro Perencanaan, Organisasi dan Tatalaksana (Renortala) Kementerian PPN/Bappenas, mengatakan dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini sangat berpengaruh terutama kepada kelompok masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya pada pertanian. Petani perlu beradaptasi dengan perubahan iklim yang mengakibatkan terjadinya perubahan curah hujan, suhu udara, ketersediaan air, varian tanaman dan pola tanam. Berbagai perubahan yang diakibatkan oleh perubahan iklim tersebut dapat mengancam produksi pertanian, serta lebih jauh lagi berdampak pada peningkatan angka kemiskinan di daerah rentan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produktivitas petani padi provinsi NTT berada di bawah rata-rata nasional pada tahun 2015 sebesar 3,56 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektare atau 67 persen di bawah produktivitas nasional yang berada pada level 5,34 ton per hektare.
Produktivitas petani padi NTT jauh di bawah provinsi tetangga seperti NTB dengan 5,17 ton per hektare atau Maluku dengan 5,57 ton per hektare.
“Oleh karena itu, dengan metode SRI, diharapkan akan ada perbaikan produktivitas padi di NTT,”sebutnya
Bupati Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Gidion Mbilijora, mengatakan sistem budi daya padi SRI merupakan sistem yang patut dicontoh dan diimplementasikan di Sumba Timur sehingga masyarakat dapat sejahtera walaupun dalam kondisi perubahan iklim. Sistem ini sebagai solusi dari persoalan masyarakat petani di Kecamatan Kambera yang terkendala produktivitas pertanian.
“Semoga metode ini dapat diterapkan di seluruh Sumba Timur karena hasil nyatanya sudah disaksikan dan dirasakan oleh petani di Desa Luku Kalara,”tuturnya. (Humas UGM/Ika)