
Suhu udara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam beberapa waktu terakhir terasa panas.
Pakar iklim dari UGM, Dr. Emilya Nurjani, menjelaskan terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi cuaca panas dalam beberapa hari terakhir. Salah satunya dikarenakan posisi matahari yang dekat dengan ekuator sehingga membuat daerah di sekitar ekuator menjadi lebih panas.
“Saat ini matahari sudah bergeser kebelahan bumi utara sehingga seharusnya suhunya lebih rendah,” katanya saat ditemui Kamis (25/4) di Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM.
Selain hal tersebut, cuaca panas juga dipengaruhi oleh angin monsoon Asia. Angin ini membawa banyak uap air yang mengakibatkan potensi pembentukan awan semakin besar. Awan-awan yang terbentuk tersebut menghalangi radiasi atau panas matahari yang seharusnya dilepaskan ke atmosfer.
“Suhu dari radiasi matahari yang diserap bumi dan dipantulkan ke atmosfer terhalang untuk dilepaskan karena masih banyak tutupan awan. Akhirnya, panas matahari balik lagi ke bumi sehingga suhu bumi menjadi naik,”urainya.
Emilya menyebutkan suhu di DIY saat ini mengalami kenaikan hingga kisaran 31-32 derajat Celcius. Sementara di hari-hari biasa suhu hanya berkisar pada 29 derajat celcius. Menurutnya, fenomena suhu panas ini akan terus dihadapi masyarakat DIY. Terlebih seiring dengan penggunaan lahan yang semakin masif.
Suhu akan terus meningkat apabila tutupan lahan semakin berkurang. Daerah perkotaan dengan bangunan beton menjadi kawasan yang menyumbang panas sebab memiliki material yang mudah menyimpan panas.
Di tengah cuaca yang semakin panas, kecenderungan pemakaian pendingin ruangan semakin meningkat. Padahal, pendingin ruangan melepaskan emisi karbon yang menyebabkan radiasi bumi tidak bisa menembus ke atmosfer, tetapi kembali lagi ke bumi sehingga cuaca menjadi bertambah panas.
Cuaca panas ini, disebutkan Emilya, bukan merupakan fenomena yang mengkhawatirkan. Hanya saja perlu untuk diwaspdai oleh masyarakat. Pasalnya, suhu tinggi akan menjadi tujuan pergerakan angin yang menyebabkan angin perkotaan seperti angin kencang. Angin tersebut akan menimbulkan urban heat island yang memicu munculnya berbagai masalah kesehatan akibat cuaca ekstrem.
Menurutnya, cuaca panas ini akan berubah saat memasuki musim kemarau. Ketika musim kemarau tidak akan terdapat awan yang menghalangi pelepasan panas matahari ke atmosfer.
“Saat kemarau tidak ada awan sehingga panas matahari dari bumi akan langsung dilepaskan ke atmosfer. Ketika siang memang cuaca panas, tapi kalau malam suhu akan turun,”terangnya.
Saat ini, DIY tengah berada pada musim pancaroba atau peralihan musim penghujan ke musim kemarau. BMKG memperkirakan bahwa wilayah ini akan memasuki musim kemarau pada akhir April atau awal Mei 2019.
Meskipun fenomena cuaca panas akhir-akhir ini bukanlah hal yang mengkhawatirkan, namun Emilya menekankan pentingnya upaya antisipasi untuk menekan dampak negatif yang ditimbulkan. Diantaranya dengan menambah luasan ruang terbuka hijau dan mengurangi produksi karbon. (Humas UGM/Ika)