
Cina dengan berbagai kemajuan dan pengaruh yang dimiliki menarik untuk dibahas. Meski begitu, negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia ini menyimpan kompleksitas permasalahan yang barangkali perlu untuk dipelajari.
Diakui banyak pihak tidak secara penuh memahami Cina. Tidak sedikit dari mereka menilai Cina sebagai negara komunis dengan pemerintahan yang otoriter dan represif dalam banyak hal.
“Saya kira perlu pemahaman lebih mendalam terkait isi karena banyak sekali pandangan-pandangan yang boleh kita sebut salah mengerti soal Cina. Cina komunis ya, yang komunis pasti tidak ada pemilu, apakah betul seperti itu,” ucap Randy Wirasta Nandyatama, M.Sc, di Ruang Sidang Dekanat Fisipol UGM, Jumat (26/4) saat berlangsung Forum Beyond The Great Wall seri II.
Menurut Randy, cara pandang sempit sederhana masyarakat soal Cina harus dibongkar. Masyarakat awam kadang menilai kalau komunis berarti tidak demokratis, padahal sejak tahun 1998 di Cina telah dilakukan pemilihan umum meskipun di level pedesaan sehingga meski komunis dan otoritarian pemerintah Cina berusaha membuka ruang demokrasi dengan melakukan pemilihan langsung kepala desa. Ini merupakan salah satu upaya Pemerintah Cina mereformasi proses politiknya dalam cakupan yang kecil.
“Meskipun cakupannya masih sangat kecil, saya kira mereka telah melakukan reformasi. Ada usaha melakukan pemilihan umum di level kepala desa, setidaknya ada sisi demokrasi,” ujar dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM.
Menurut Randy, upaya reformasi ini penting bagi Cina untuk mendukung legitimasi partai karena dari pemilihan umum yang dilakukan di tingkat kepala desa inilah akan terpilih kader terbaik.
“Dari situlah Partai Komunis Cina memiliki pola rekrutmen, artinya siapapun kepala desa terpilih kalau asalnya bukan orang partai maka dipastikan ia akan direkrut oleh Partai Komunis Cina,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)