
Pemilu 2019 telah mengukir sejarah pemilu di Indonesia dengan pemilu serentaknya. Perubahan ini memunculkan beragam respons dari masyarakat, khususnya berkaitan dengan kendala-kendala yang masih ditemui dalam penyelenggaraan Pemilu 17 April silam.
“Sejak awal Pemilu serentak dihadapkan pada banyak tantangan. Kita patut mengapresiasi KPU yang telah bekerja keras, tapi pasca 17 April di sana-sini masih banyak PR yang perlu kita selesaikan,” tutur Dekan FISIPOL UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, Jumat (26/4).
Hal ini ia sampaikan dalam Sarasehan Refleksi Pemilu “Mengulik Dinamika Pemilu 2019” yang diselenggarakan di Digilib Cafe FISIPOL. Sarasehan ini menghadirkan berbagai macam sudut pandang, baik dari akademisi, penyelenggara pemilu di lingkup KPPS, saksi Pemilu, serta perwakilan dari TKN dan BPN.
Dengan fokus pembahasan pada topik perubahan sistem Pemilu 2019 dan aplikasinya di lapangan, salah satu pembicara yang dihadirkan adalah Komisioner KPU RI, Pramono Ubaid Tanthowi. Ia menyebut beberapa persoalan teknis yang ditemui selama penyelenggaraan Pemilu, di antaranya berkaitan dengan ketersediaan logistik.
“Hingga 25 April 2019, terdapat sejumlah TPS yang harus dikoreksi karena masalah ketersediaan logistik dan pelayanan pemilih,” ucapnya.
Ia menambahkan, sebanyak 705 TPS harus melakukan Pemungutan Suara Ulang, 2.260 TPS melakukan Pemilu Susulan, sementara 296 TPS melakukan Pemilu Lanjutan. Ia mengakui bahwa petugas KPPS kesulitan untuk melayani pemilih pindah memilih karena jumlahnya yang membludak.
“Bagi KPU mudah untuk mendata pemilih yang mengurus proses pindah memilih. Namun, sulit untuk memenuhi ketersediaan surat suara karena secara teknis sulit untuk memindahkan surat suara yang telah dialokasikan ke TPS untuk mengikuti pemilih yang pindah memilih,” jelas Pramono.
Selain persoalan logistik, pelaksanaan pemilu dengan 5 surat suara mengakibatkan semakin lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses pemungutan suara serta penghitungan suara. Kendala ini menjadi salah satu penyebab banyaknya jumlah korban petugas penyelenggara pemilu yang menderita sakit.
“Proses perhitungan suara tidak bisa tuntas, harus melewati waktu tengah malam. Banyak petugas tidak kuat secara fisik karena mereka begadang bukan hanya pada waktu itu saja tapi juga dari malam sebelumnya untuk mempersiapkan tempat pemilihan,” ungkapnya.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Dr. rer.pol. Mada Sukmajati, MPP, menyatakan keputusan MK yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu serentak kali ini sebenarnya tidak secara eksplisit mengacu kepada penyelenggaraan pemilu presiden, DPR, DPD, dan DPRD secara serentak.
“Sebenarnya bisa dipisahkan antara pemilu lokal dan nasional,” ujarnya.
Meski pemilu serentak meninggalkan banyak persoalan, ia menyatakan bahwa persoalan tersebut menjadi bahan pembelajaran bagi pemilu ke depan, dan model ini bisa diperbaiki agar bisa berjalan dengan lebih baik tanpa harus diganti dengan sistem yang lain.
“Jangan buru-buru cari sistem yang lain. Mari kita pikirkan baik-baik, evaluasi lebih mendalam sehingga kita bisa belajar dari pemilu yang sekarang,” kata Mada. (Humas UGM/Gloria)